Matahari masih
terasa panasnya meski waktu sudah menunjukkan sore hari. Mobiku siap melaju, temani aku
berkunjung ke rumah kedua orangtuaku. Sebuah komplek khusus tak jauh dari tempat
tinggalku. Perlahan ku buka pintu
pagarnya. Sepi. Ku ucapkan salam, dan aku langsung masuk ke bagian dalam.
Nampak rumah kedua orang tuaku. Terakhir mengunjunginya kira-kira empat bulan yang lalu. Halamannya
bersih, pohon besar nan rindang ikut
memayungi kompleks ini.
Ku ucapkan salam
sekali lagi, dan mereka ada di sana. Bapak dengan kain sarung kotak hijau dan
berkaos putih, nampak santai duduk di kursi merah ditemani Emak yang dengan senyumnya seakan menyambut kedatanganku
di sore ini. Daster berlengan pendek
dengan motif berwarna ungu sepertinya memang menjadi daster favorit. Entahlah,
setiap aku datang, pakaian itu yang dikenakannya. Aku duduk di hadapannya, lalu berceritalah
tentang empat bulan yang telah lewat dan
tentunya tentang kami semua, anak dan cucunya. Sore ini aku datang sendiri,
karena kakak dan adik belum datang, kalimat itu yang menjadi awal cerita. Tapi
insyaallah di 1 Syawal semua akan kesini, berita yang sangat membahagiakan
tentunya dan itu terwujud. Dari lima bersaudara memang hanya dua yang tinggal
di kota ini. Jadi kami jarang berkunjung bersama-sama.
Aku lanjutkan
cerita tentang kegiatanku yang banyak habiskan waktu di apotek, hingga kadang
membuat rumah menjadi tidak rapi. Rumput yang kadang tinggi, tak sempat untuk
memotongnya. Entahlah sepertinya aku belum menemukan ritme waktu yang tepat dengan
aktivitas yang baru aku jalani beberapa bulan ini. Emak selama puluhan tahun adalah
manager waktu untuk aku, alarm yang paling ampuh. Tidak hanya itu, untuk urusan
warna pakaian hingga kerudung pun aku tak pandai tentukan pilihan, dan Emaklah
yang akan putuskan warna apa yang aku
harus kenakan. Semoga warna baju dan kerudung yang senada sore ini membuat Emak percaya bahwa putrinya sudah mulai bisa
tentukan pilihan.
Cerita berlanjut tentang bunga Kamboja yang
kemarin sempat mekar, merah warnanya. Terbayang kala pertama bunga itu mekar,
Emak memanggil berulang-ulang namaku agar melihatnya di halaman dan aku masih
tetap selonjoran di tempat tidur. Maafkan Mak. Sekarang bunga itu mekar dan aku
mengakui bahwa melihatnya mekar itu memang indah. Sayang ….bunga kesayangannya yang
lain yaitu Kuping Gajah dengan puluhan
pot tak bersisa satu pun saat ini. Aku tak dapat menjaganya. Memang rumah kami
tetap hijau namun sudah tak sehijau dahulu. Tembok-tembok yang cukup tinggi
mengelilingi rumah membuatnya tak sesejuk dulu. Sunngguh berbeda masa itu dengan yang
sekarang.
Bergeser tempat duduk, aku tetap bercerita bahwa
semuanya baik-baik saja. Cucu-cucu yang berjumlah 7 orang tak lupa aku
ceritakan. Sudah besar, ada yang hobi menyanyi, pandai berpidato dan ada juga
yang sudah pandai berenang. Namun dari
semuanya tak ada satu pun yang tidak suka makan. Semuanya suka sekali makan dan
ngemil. Tentu jika kondisinya bukan seperti sekarang, pastilah aneka masakan
dan kudapan penuh di meja makan. Dan semua akan bisa bercerita tentang lezatnya
masakan nenek. Seperti aku menceritakan kepada mereka tentang kehebatan Nenek
membuat masakan. Tak pernah jajan di warung karena apapun yang kami inginkan
berusaha diwujudkan. Dari siomay, bakso hingga roti goreng pun dibuatnya.
Cerita hampir
selesai, aku memandang keduanya. Masih seperti dulu. Matahari mulai turun,
teriknya hilang. Ada beberapa orang yang membuka pintu pagar rumah keabadian
ini. Rupanya banyak yang mengunjungi komplek ini, karena lusa, Ramadhan akan
datang. Sama seperti aku. Meski tidak
hanya di waktu seperti ini saja. Terkadang saat aku merasa rindu, aku membuka
pintu pagar kompleks ini, sekedar untuk duduk dan bercerita.
Aku perbaiki dudukku lagi, ceritaku selesai. Cerita
yang bukan berwujud percakapan biasa. Aku menyampaikannya dalam bentuk yang
lain. Sebelum pamit, ku berikan hadiah dalam lantunan kalimat suci untuk mereka
berdua dengan harapan rumah tinggal keabadian ini menjadi terang penuh cahaya,
menjadi luas dan penuh dengan bunga. Seperti kesukaan Emak yang slalu senang
dengan bunga warna-warni. Seperti kesukaan Bapak, rumah yang penuh pohon-pohon
hijau dan berudara sejuk. Sore ini tepat 9 tahun Emak tinggal di sini, menemani
Bapak yang telah lama berdiam hampir 30 tahun
di sini. Sehidup Sesurga doa kami
untuknya. Perlahan aku bangkit, dan pamit karena sudah hampir Magrib.
Tinggalkan mereka berdua, duduk di kursi merah itu. Memberikan senyum kepada
beberapa orang yang baru saja memasuki kompleks ini, lalu ku tutup pintu pagarnya.
Hidupkan mobiku, motor biruku. Melaju perlahan menuju rumah di mana dulu mereka
besarkan kami semua dengan segala hiruk pikuknya masa anak-anak.
Suatu hari nanti
kami akan berkumpul kembali bersama di
rumah keabadian.