Pertanyaanmu tak bisa aku jawab.
Bukan karena terlalu panjang atau pun pendek waktunya hingga aku lupa, namun memang aku tak mampu mengingatnya. Dan kadang tak perlu juga kan ? Tak ada jaminan bahwa dimensi waktu akan memperkokoh atau membuat rapuh bangunan ini. Tidak sedikit menyaksikan kehancurannya meski dibangun dalam waktu yang lama, dan aku bisa temukan juga banyak yang berdiri kokoh, tak goyah meski aku tahu gempa berskala Richter berusaha menggoyangnya. Aku belajar dari sekitar pun dari diri sendiri, puing yang berserak dicoba untuk di sapu bersih. Membangun kembali tanpa pernah tahu kapan aku mulai kembali melakukannya. Perlahan bangunan ini mulai berdiri dan penuh warna warni unsur pembentuknya.
Aku masih diam, ketika tanya itu
datang lagi. Perlahan aku habiskan air minum dihadapan. Baiklah, aku akan
menjawab tanyamu, kataku perlahan
Iya, aku tahu, banyak orang
mensyaratkan banyak hal untuk mendirikan bangunan ini namun aku mulai mencoret unsur
yang menurutku bukan bahan utama. Warna yang tidak aku butuhkan. Kebutuhanku
tidak lagi seperti mereka. Bisa jadi karena semesta mengajarkan aku banyak hal
sehingga aku membuat sedikit perbedaan. Bisa jadi karena rentetan kejadian yang
telah banyak aku alami. Aku menggeser tempat dudukku. Lalu aku lanjutkan kembali.
Bangunan tentu yang mendasar adalah
pondasinya, Bagiku, saat kejujuran diletakkan sebagai pondasinya maka aku yakin
akan kekuatannya. Kepercayaan akan semua hal yang ada. Aku tak perlu menghabiskan
banyak waktu hanya untuk mempertanyakan sesuatu terjadi begitu pula dirimu. Tak perlu. Sering ku katakan bahwa persahabatan yang akan bertahan lama adalah
yang dibangun atas kejujuran. Bukan karena sebuah kepentingan karena ini bukan sebuah
hubungan politik meski terjadi bilateral J. Dan ini bukan hubungan jual beli.
Tidak ada yang mengambil margin keuntungan, tidak ada pula kerugian di
dalamnya. Tidak ada syarat dan ketentuan berlaku, atau pun ‘kecuali dinyatakan
lain’. Ini adalah pondasi awal untuk mendirikan bangunan ini.
Kejujuran/kepercayaan serta komitmen akan segala hal yang ada dihadapan.
Aku hanya belajar tentang memahami. Pemahaman
yang baik adalah jendela kita untuk saling memandang sejajar, saling mengerti. Rasanya menyenangkan ketika pemahaman mulai hadir,
tidak perlu berdebat kusir untuk semua
perbedaan. Namun bukan pula menafikan
perbedaan. Mendiskusikan banyak hal menjadi awal bagaiman kita belajar saling
memahami. Cara pandang dari diri kita masing-masing. Saat hadir pengertian,
maka hadirlah pemahaman. Apakah kita menghadirkan ini? Aku rasakan iya. Entah denganmu.
Jika jendela dari bangunan ini adalah
pemahaman, maka pintu bangunannya adalah saling memaafkan. Kita tahu bahwa maaf
adalah satu kalimat sakti yang mampu memadamkan amarah, meredakan perselisihan
dan membuat hati menjadi lebih nyaman. Tak
perlulah kita bertahan merasa bahwa ini adalah benar, itu adalah salah. Meminta
maaf membutuhkan energi yang besar, oleh sebab itu hanya dapat dilakukan oleh
orang yang tidak mempermasalahkan siapa yang harus minta maaf atau memberi
maaf. Melelahkan bukan, saat kita
mendapatkan seseorang yang sukar sekali minta maaf. Bisa jadi yang melintas saat kata maaf terlontar, maka itu
ekuivalen bahwa penyebab kesalahan adalah kita. Mestinya tidak begitu kan?
Meminta maaf tidak akan turunkan digit yang kita miliki. Terkadang setelah kata maaf
terucap, segalanya menjadi lebih terang. Benang kusut nan rumit pun berhasil
kita urai, menjadi simpul-simpul yang menguatkan, terjalin dari rasa marah yang
berhasil kita redam. Pintu yang kokoh dalam bentuk saling memaafkan menjadi unsur
esensial menurutku.
Dan layaknya sebuah bangunan, selain
jendela dan pintu, tentu kita membutuhkan atap yang dapat melindungi dari
angin, badai, hujan dan teriknya matahari.
Jangan biarkan hal-hal yang bersifat merusak masuk melalui atap ini.
Penerimaan akan segala yang kurang, rasa syukur akan segala yang lebih tentu
akan membuat segalanya menjadi lapang. Berapa banyak kita lihat kehancuran
sebuah bangunan yang awalnya sangat kokoh gegara ada yang merasa lebih sempurna,
lebih baik atau bisa jadi karena ada yang merasa hanya menjadi beban, banyak
hal yang kurang dalam dirinya. Jika penerimaan sudah ada di bangunan ini, tentu
akan mengusir rasa yang merasa “paling”. Bukankah kita akan melangkah dengan
tujuan yang sama. Cita yang sama, impian yang sama. Jadi teringat semboyannya
Ibu Dorce yang sangat terkenal “kesempurnaan itu milik Allah”. Tersenyum dirimu mendengar kata ini.
Kita sungguh penuh dengan kurang namun juga dibekali dengan lebih. Saling melengkapi dan saling menguatkan. Kita sama-sama takut, namun akan menjadi berani jika jari-jari kita menyatu. Kita sama-sama ragu, namun akan menjadi yakin jika keraguan ini berkumpul dalam satu muara. Melengkapi itulah atap bangunan ini.
Kita sungguh penuh dengan kurang namun juga dibekali dengan lebih. Saling melengkapi dan saling menguatkan. Kita sama-sama takut, namun akan menjadi berani jika jari-jari kita menyatu. Kita sama-sama ragu, namun akan menjadi yakin jika keraguan ini berkumpul dalam satu muara. Melengkapi itulah atap bangunan ini.
Aku tambah lagi air di gelas
bertangkai ini, dan aku hanya mampu katakan…
Bangunan ini telah berdiri,
pondasinya yang berupa kejujuran dan kepercayaan direkatkan dari awal. Dan
lihatlah jendelanya terbuka lebar, udara bersih memenuhi bangunan ini. Singkirkan
segala sesuatu yang tak baik secara perlahan. Pintunya
meski belum sekuat yang lain namun telah ada. Dan tentu saja atapnya yang kuat
melindungi banguan ini.
Ini adalah bangunan cinta dan sayang yang
dibangun dengan hal-hal baik agar kokoh dan tahan lama. Halamannya aku isi
dengan pohon kerinduan serta kicauan senda gurau dan kelucuan yang sering
hadir. Tidak gersang, ada kenyamanan saat memandang bangunan ini.
Kita akan merawat, memperkokoh bangunan ini atau akan membiarkannya hingga hancur kembali menjadi kepingan berserak,
Aku balik bertanya kepadamu.