Kamu suka ngemil
kerupuk? Jika ya…mari duduk bareng di sini. Kita bercerita tentang kerupuk yuk.
Mahluk renyah, gurih dan slalu rame saat kita gigit. Mungkin karena hidupku
yang berusaha slalu ku buat renyah. Akhirnya kerupuk menjadi teman keseharian yang
cocok, dan setia menemani. Sebuah filosofi kerupuk yang nggak banget ya. Kriuk-kriuk seperti hidupku.
Apa sih kerupuk
itu? Jika kita intip dari kamus bahasa, kerupuk adalah makanan yang dibuat dari
adonan tepung dicampur dengan lumatan udang atau ikan, setelah dikukus, disayat-sayat
tipis atau dibentuk dengan alat cetak lalu dijemur agar mudah digoreng. Tapi
bagiku kerupuk ya mahluk renyah, setingkat di atas keripik namun di bawah
kerupak. Nah looo, apaan tuh?
Keripik itu
makanan renyah, ukurannya kecil. Misalnya keripik kentang, keripik bawang,
keripik tempe dan lainnya. Kerupuk ukurannya lebih besar sedikit dari keripik. Kerupuk
udang, kerupuk ikan, kerupuk jengkol misalnya. Dan kerupak itu adalah kerupuk
yang gedeeee ukurannya, jumbo segede wajan gitu deh. Eh.., ini definisi bebas
yaa. Seperti halnya rengginang dan renggining J, tidak ada di
kamus resmi, adanya di kamus Tati heheh.
Kerupuk hadir di
toples baik di rumah maupun apotek. Dijadikan cemilan. Anehnya meski saya suka plus
doyan kerupuk, saya tidak mau menggabungkan kerupuk dengan menu makan. Kerupuk
adalah cemilan, bukan teman makan. Saya akan menggigitnya setelah makan
selesai. Ribet jika harus dimakan dalam satu waktu.
Nah, di bulan
puasa ada satu kerupuk yang mendunia di Cilegon. Kerupuk yang ngetop sejak
saya kecil. Harganya seratus rupiah perbuah, saat itu. Kerupuk mie namanya. Disebut
demikian karena warnanya kuning dan bentuknya seperti mie. Dijajakan banyak di
pinggir jalan saat bulan puasa seperti ini. Bisa dijodohkan dengan asinan, soto,
atau sejenisnya. Namun cara menikmati kerupuk ini yang paling asik adalah
menyiramnya dengan sambel bumbu kacang.
Oh iya, kerupuk
mie ini tidak ada campuran ikannya. Agak sedikit keras, kenyal di bagian yan
tebal tapi ini yang bikin tidak bisa berhenti dan bagian yang saya suka. Kamu suka
juga kan?
Tadi sore saya melakukan
ritual merendam kerupuk mie, persis saat puluhan tahun yang lalu. Beli kerupuk
mie di tetangga yang secara turun temurun menjual kerupuk mie. Dengan harga dua
ribu rupiah perbuah. Sambel bumbu kacang tentu disertakan sebagai pelengkapnya.
Tempat berjualannya masih sama, seperti puluhan tahun yang lalu. Di meja kayu,
samping mushola yang tak jauh dari rumah.
Ritualnya pun masih
sama, namun kakak dan adik tidak ikut meramaikan secara nyata berebut tempat
dan berebut kerupuk seperti waktu puluhan tahun yang tlah lewat. Sore tadi saya menikmatinya di sebuah ruang yang kanan
kirinya berisi rak obat, diapers serta pajangan lainnya. Meski begitu kerupuk
mie ini tetap renyah dan ruangan pun tidak sepi karena saat adzan berkumandang, kakak dan
adik ramai memberikan ucapan selamat di wa. Selamat berbuka, bulek!