Setiap tanggal 22 Desember, semua
dari kita diingatkan kembali tentang hari Ibu. Postingan di berbagai media,
berita di televisi hingga kegiatan yang berfokus pada peringatan hari Ibu. Saya
selalu mengingat tanggal ini, selain hari Ibu, tanggal 22 Desember menjadi amat
berarti bagi kami sekeluarga.
Tiga puluh tahun lalu, bertepatan
dengan hari Ibu, bapak memberikan kado kepada emak. Kado berupa sebuah status baru yang melekat
pada diri saya, kakak dan adik serta emak dimulai di hari itu, kado yang
teramat spesial karena kami diberikan kepercayaan untuk melanjutkan hidup tanpa
arahan dari bapak. Beliau yakin meski tentu dengan berat hati melepaskan kami,
begitu pula yang terjadi pada kami. Ingin menolak namun memang sudah diberi, jadi
berusaha menjalani semuanya, berusaha membuat beliau tersenyum hingga hari ini.
Berusaha sama-sama mengikhlaskan diri saat itu, Allah memintanya untuk kembali, maka kami tak
bisa menahannya meski air mata tumpah.
Tiga puluh tahun yang lalu, cerita ini
ditutup. Tapi semua yang terjadi di hari itu dan ribuan hari sebelumnya masih
lekat di benak. Tidak pergi bahkan terus ada, meski lama sekali telah berlalu.
Minggu, saat adzan magrib berkumandang, emak memeluk kami semua lima anak yang
belum begitu paham dengan hidup yang akan dilalui. Sambil terisak, emak berjanji
akan dibesarkannya kami semua dengan tangannya. Kondisi sesulit apa pun tak
akan kami dipisahkan. Begitulah memang yang terjadi, hari-hari panjang
dilampaui, dari berseragam merah putih, hingga masuk ke jenjang perguruan
tinggi. Lalu usai saat kami semua sudah mengenakan seragam kerja. Usai tugas emak,
beliau pun pergi sesuai janjinya. Kami lanjutkan perjalanan kembali. Tanpa peta
dari kedua orangtua.
Setelah 22 Desember di hari Minggu
itu, tak ada lagi kesibukan pagi bercampur suara mesin motor vespa, tidak ada
lagi suara berat di sore hari meminta kami untuk mandi. Tidak ada kesibukan
memberi sarapan ayam-ayam kesayangan. Tidak ada lagi yang menegur kami karena
sandal/sepatu tidak diletakkan pada tempatnya. Tidak ada tawa keras khas, dan
tidak ada yang masak pakai bumbu klewek lagi. Semua berubah, tidak ada lagi
panggilan “Bapak” di dalam rumah.
Tegas, disiplin itulah Bapak. Tidak
ada yang berani membantahnya ketika perintah sudah dikeluarkan, namun dibalik
itu semua juga ada saja kelucuan yang dibuatnya. Pernah saat sudah siap
berangkat sekolah, dan bapak pun sudah duduk di motor vespanya tetiba bapak
minta tolong emak mencari kacamatanya. Semua sigap mencari, namun tak
ditemukan. Kamar tidur, tempat baca, hingga ke meja makan. Klakson motor
berbunyi, eeeh tapi bukan telolet yaaaa hahaha, artinya jangan lama-lama. Emak
tergopoh berlari ke halaman, dan hahahaha…kita semua tertawa kacamata bapak ada
di kepala. Bapak lupa hahaha, bapak berhasil membuat kita sibuk semua.
Kami berlima mempunyai tugas dan
tanggung jawab masing-masing. Meski adik belum bersekolah, namun tetap juga
punya tugas. Merapikan sandal misalnya. Tidak ada sandal yang posisinya
terbalik, semua dipasangkan dan diletakkan pada tempatnya. Kedua adik saya
bertugas mengurus itu. Saya mempunyai tugas pegang kemoceng di pagi dan sore
hari, mengelap debu jendela, lemari, kursi dan perabot lainnya. Cara bapak
mengecek apakah saya mengerjakan tugas adalah membuka taplak meja sedikit dan
menyeka bagian bawahnya, jika masih berdebu artinya saya hanya membersihkan
bagian yang terlihat. Jadi saat membersihkan saya diajarkan untuk mengangkat
asbak, vas bunga, lalu taplak mejanya. Harus dibersihkan walaupun tidak
terlihat, pelajaran sederhana namun terus diingat hingga sekarang. Merapikan
meja makan, atau menyiapkan peralatan makan semua dikerjakan dengan berbagi. Jika
sudah jam makan, emak akan siapkan masakan, saya siapkan piring, kakak akan
siapkan teko air, semua bergerak sesuai tugasnya. Dengan tubuh kecil bukan berarti
tidak punya peran. Belajar itu yang sering dikatakannya.
Bapak memelihara ayam, kandangnya rapi.
Terbuat dari bambu. Membersihkan kandang ayam tugas kakak laki-laki, meski
letaknya di samping rumah, namun tetap tidak boleh bau. Kotoran ayam
dibersihkan tiap hari, disemprot dengan slang air sambil ayamnya ikut mandi
heheh. Memberi makan ayam menjadi
kesenangan bapak. Kesibukan pagi adalah selain menyiapkan sarapan untuk kami,
bapak juga sibuk menyiapkan sarapan untuk ayam. Dedak dicampur air panas dan
nasi panas. Hohohoho…………, dikepal-kepal, lalu ayamnya digendong sambil diajak
ngomong, ayamnya sehat, makanannya penuh gizi. Kakak lelaki saya ketika sore
harus memastikan ayam-ayam masuk kandang, tidak ada yang berkeliaran diluar.
Pernah di suatu sore, satu ayam tidak mau masuk kandang, bertengger di pohon
belakang rumah, sudah dicoba untuk ditangkap lhaaa kok malah kabur. Hingga sore
berganti malam, kakak masih sibuk merayu ayam untuk turun. Saya pun waktu itu
ikut bantu merayu ayam agar pulang ke kandang hahaha. Ayam-ayam ini jika sudah
waktunya akan menjadi santapan keluarga di meja makan, kadang jadi gak tega
kalau ingat tubuh gemuknya yang kita pelihara dari kecil.
Kakak yang paling besar akan sibuk
menyiram pohon di sore hari, rumah kami penuh dengan aneka tanaman saat itu. Jeruk
Bali, cengkeh, nangka, ceremai, belimbing wuluh, belimbing bintang, jambu air,
mangga, hingga pisang ada di halaman rumah. Tidak banyak, setiap jenis ada satu
pohon. Belum lagi tanaman hias milik emak seperti Kuping Gajah, duuuuh mesti
tetap hijau dan segar. Tanahnya harus digemburkan, jadi akarnya sehat. Begitulah
urusan tanaman, emak yang akan banyak bicara. Untuk menyikat kamar mandi pun
dibuatkan jadwal. Semua bekerja, belajar bertanggung jawab. Hari Minggu kami
akan sibuk mencuci sepatu. Kaos kaki dan sepatu menjadi tanggung jawab
masing-masing. Kami akan ngantri di tempat cuci belakang rumah, bergantian
nunggu sikat sepatu, kadang saya merayu kakak menitipkan sepatu hehehe. Seru sekali jika kami sedang mengingat
masa kecil.
Apa yang tidak disukai bapak? Bapak
sangat marah jika kami berbohong, kakak saya sehabis pulang sekolah rupanya
berenang di sungai dengan kawannya. Kulitnya hitam terbakar matahari, lalu
pulang sore hari. Eeeh saat ditanya tidak mau bilang habis berenang, hohoho,
Bapak marah, menurut bapak jika sudah berbohong nanti pasti akan terbiasa
berbohong. Jujur saja, mengaku salah. Itu lebih baik dan aman. Ada pesan juga
dari bapak, jika mengaku salah tunjukkan wajahmu merasa salah, jangan
cengar-cengir, senyum dan sebagainya. Pesan seperti ini terus saja teringat,
karena saya pernah melakukannya, mengaku salah tapi wajah saya tidak
menunjukkan itu. Bapak juga tidak suka kita bermalas-malasan, bangun harus
pagi, tidur tepat waktu dan jika luang yang dilakukan adalah membaca buku/koran,
serta mengisi Teka Teki Silang di harian Kompas Minggu waktu itu. Televisi
dinyalakan saat tertentu saja, tidak semua acaranya boleh ditonton.
Dan menurut bapak, kita harus
bersyukur jika masih ada yang mau menegur, memarahi atau menasihati kita,
karena jika sudah didiamkan, dicuekin, dianggap tak ada padahal ada, itu akan
menyakitkan sekali. Nasehat lama ini benar adanya. Saya meyakininya sekarang.
Lalu dimanakah emak saat itu? Emak
paling sibuk di dapur, ada saja makanan yang dibuatnya. Di tangannya semua jadi
enak. Kami tidak mengenal jajan, setiap ingin jajan emak bisa membuatnya, jadi
yaaa sudah….kami tak perlu jajan. Dari siomay, bakso, roti sobek, bubur kacang,
putu ayu hingga kue lainnya slalu bisa dibuat. Bapak mengharuskan kami bisa
berenang, main bulu tangkis, serta lari. Sayangnya saya masih kecil, jadi jika Bapak
bermain bulutangkis di lapangan sebelah rumah, saya hanya bertugas mengambilkan
shuttlecock, dan menonton saja. Dua kakak saya menjadi lawan mainnya. Raket
hanya untuk kakak, sedangkan saya bermain-main melempar cock dengan piring
plastik. Tubuh bapak saya yang gemuk tidak membuatnya sulit bergerak, tetap
lincah mengajarkan smash, atau pun mengembalikan shuttlecock. Makanan lah yang
membuatnya menjadi sakit, penggemar jeroan dan tentu wedang legi plus kentel.
Gula batu menjadi teman di pagi dan sore hari. Meski dokter sudah melarangnya
namun berat meninggalkan kebiasaan, hingga akhirnya menyerah meski usia baru
berkepala empat.
Bapak selain mengajarkan tentang
disiplin juga mulai mendidik kami menghargai uang. Bagaimana cara kami
mendapatkan sesuatu?...ya menabung. Celengan ada di atas meja belajar kami,
jika ada keinginan harus dibuka, nanti bapak akan cukupkan jumlahnya. Oh yaa,
bapak saya jago masak juga. Untuk beberapa masakan, emak akan kalah. Terutama
masakan Jawa tentunya heheh. Rawon dengan bumbu keluwek menjadi masakan
kesukaannya. Aneka soto, bahkan bubur ayam, nasi tim pun itu dibuat di dapur
emak. Tempe hadir setiap hari di meja makan. Lalu bapak mencoba membuat tempe
sendiri dan hasilnya luar biasa. Produksi tempenya diminati oleh tetangga dan
teman-temannya. Rak besi tinggi ada dibelakang rumah tempat bapak dan emak
membuat tempe. Nah, membuat tempe biasanya dilakukan saat hari Minggu,
semaleman rendam kedelai dan cuci hingga bersih. Lalu emak yang akan memasukkan
dalam plastik, saya akan menusuk-nusuk plastik dengan lidi yang sudah diruncingkan,
agar proses fermentasi berjalan sempurna. Ternyata ada polanya juga, tidak asal
tusuk sana sini. Tapiiiii…..yaaa begitulah saya, masih saja tidak berpola,
berantakan terlihat saat tempenya sudah jadi. Mengantar tempe yang sudah jadi
ke tetangga juga sebagian dari tugas saya, pernah saat hendak mengantar, bawa
tempenya menggunakan piring, eeeh ada Soang, angsa yang lehernya panjang
mengejar saya hingga jatuh dan tempenya berantakan, piringnya juga entah
kemana. Rasanya seperti dikejar apa yaaa….lari sekuat tenaga tapi ternyata
paruhnya berhasil menangkap ujung baju. Ngeriiiii membayangkan Soang waktu itu.
Hahahah. Masa lalu dengan soang berleher panjang.
Rak tinggi untuk menyimpan tempe
beralih fungsi setelah bapak pergi, baskom besar dan lain-lain dibiarkan
berdebu. Tak ada yang menyentuhnya, emak sempat sakit dan bingung harus
mengerjakan apa, alhamdullilah akhirnya semangat itu hadir kembali. Hidup harus
terus berjalan. Tidak boleh menyerah dan berhenti begitu saja.
Lalu, setelah waktu berjalan begitu
panjang, setiap hari Ibu di 22 Desember pastilah emak akan bilang, kado dari
bapak abadi sepanjang masa. Slalu diingat, perayaan bagi emak, tapi juga kami
akan berkirim doa mengingat bapak. Hari ini tepat 30 tahun. Sarung kotak hijau
dan kaos putih yang sering dikenakan bapak, kadang melintas menjadi kerinduan. Rindu
serindu-rindunya, hingga kadang jatuh bulir bening tanpa sebab. Beliau
menginginkan kami anak-anaknya menjadi anak yang tangguh, tidak cengeng dan
tidak rapuh, pembelajaran yang saya dapat dalam perjalanan 30 tahun tanpanya.
Rasanya menjadi aneh jika saya terisak untuk hal yang tidak penting, karena
banyak hal penting sudah berhasil dilalui tanpa terisak.
"Terimakasih kado istimewanya Pak",
jangan khawatir anak gadismu yang satu ini terus semangat dan semangat terus. Seperti
yang slalu diajarkan untuk berikan yang terbaik, belajar dalam segala hal,
berani, dan strooooong. Meski kadang jika sedang sedih gegara ada yang bikin
ulah saya tak bisa lapor bapak, seandainya bapak ada………….hmmmm tinggal
ditelolet kelar deh hidupnya dia, berani-beraninya yang bikin anak gadis bapak
menangis. Eeeh, sudah, sudahlah…..bapak tidak perlu tahu hal ini. Tenanglah di
sana bersama emak.
Al- fatihah untuk bapak dan emak dari kami di
ruang yang berbeda. Insyaallah kita akan bertemu di Jannah-Nya. Saya percaya,
bapak dan emak slalu temani di rumah hijau ini.
**foto Cik Wening