365 hari yang
lalu, di malam yang sangat pekat karena tak tak ada aliran listrik, aku
bermalam di pulau kecil yang terpencil dengan aliran listrik yang terbatas, pulau ini merupakan daratan yang paling dekat dengan
Gugusan Krakatau dan turut menjadi saksi kedahsyatan letusan besar Krakatau
tahun 1883. Pulau Sebesi, nama pulau yang aku tinggali selama semalam.
Berdasarkan hasil googling nama Sebesi kemungkinan berasal dari bahasa
Sansekerta, Sawesi (Savvesi).
Malam
yang tak panjang, karena sebelum pukul tiga dinihari kami sudah harus bangun
bersiap untuk mengarungi samudra menuju anak Gunung Krakatau. Mengejar matahari
yang akan terbit disana.
Tidur saat mata belum mengantuk, karena baru saja
menyaksikan malam peringatan hari kemerdekaan di pulau ini, sambil santap
malam. Namun mata harus terpejam agar esok tidak perlu mata lelah apalagi
mengantuk. Suara alarm dan panggilan dari pintu pagar membangunkan kami.
‘Tolong nyalakan lampunya kak, pinta saya karena gelap sekali. "Dek, jatah lampu
menyala sudah habis”, jawab kaka cantik. Masyaallah…,aku lupa, di pulau ini
lewat dari pukul 12 malam maka listrik akan padam. Dalam gelap kami berkemas,
sinar dari lampu senter tak begitu kuat. Kaos kaki, jaket dan tas kecil sudah
siap. “sudah siap?....teman-teman lain saling bertanya. Bismillah, pintu kami
buka dan ternyata suasana di luar rumah lebih mengasikkan, semua bergegas
keluar dari home stay, menuju pantai. Begitu pula aku dan teman-teman.
kondisi setelah porak poranda |
Belum
pukul empat pagi, kami semua dipastikan sudah masuk ke perahu atau kapal yang
akan membawa kami ke Anak Krakatau. Langit cerah, tak ada hujan. Besok pagi
bendera akan berkibar disana. Kolam raksasa akan kami arungi, tak ada rasa
khawatir atau rasa was-was sedikit pun, karena seharian tadi saat kami bermain
ke Pulau Sebuku, Pulau Umang semuanya Nampak bersahabat, ombak dan angin
menyambut kami dalam ketenangan. Semua sudah dalam posisi yang nyaman, angin
laut terasa sangat dingin, berdoa sesaat sebelum akhirnya kami berangkat.
saat ombak siang bersahabat |
Temanku Tongbro dan Mikha sudah di atap, begitu pula kaka cantik asik
berbincang menatap lautan. Sarapan berupa nasi uduk dan telur yang sudah ada di
tangan kami perlahan di buka. Waktu subuh belum sampai, aku dan teman-teman
sudah membuka sarapan, tawa dimulai saat kami bergeser-geser mencari posisi yang
nyaman. Dekat saya ada mbak Dian, Pipit, Cikwen, Bang Derry dan di ujung ada
Bang Indra teman seperjalanan. Di sisi yang lain ada kak Dewi, Ocha, Bang Zul
dan lainnya.
Suapan pertama sudah mulai bergerak ke lambung, dan tiba-tiba,
kapal bergoyang. Pelan lalu mulai kencang, angin menyambut kami dengan amukan,
ombak pun seakan dibangunkan dari tidur malamnya karena suara mesin kapal kami.
Kapal oleng bertambah kencang, Nahkoda melaju tanpa lampu. Langit malam yang
awalnya cerah mulai menurunkan beban air di awan. Teman lain sudah mulai
berteriak, aku hanya diam lalu mencoba berganti posisi tidak lagi duduk, namun
tiduran di sela- sela teman yang lain. Rasa takut sangat menyelimuti diri saya
di pagi itu, gelap sangat gelap. Dzikir, tahmid mengalun dari mulut kami
sejadi-jadinya, teriakan Allahu Akbar pun terdengar. Ombak mengganas, badai
datang. Aku sudah tak ingat siapa-siapa lagi, mataku terpejam. Ya Allah
selamatkan kami ya allah. begitu kecil kapal beserta isinya di kolam buatan-Mu
ya Allah. Satu persatu teman kami mulai mengambil pelampung orange. Saya masih
memejamkan mata, hanya mendengar suara minta pelampung, lalu suara teman lain
yang sama-sama ketakutan. Saya tidak berani melihat dahsyatnya badai itu
menghantam kapal kami. Rasanya kapal ini berubahseperti layaknya permainan Kora-Kora di Dufan sana, kadang tinggi lalu tiba-tiba turun dan oleng. Entahlah apa yang
ada di benak teman lain, saat itu yang ada di kepala saya adalah saya dan
teman-teman harus selamat, saya tidak ingin tenggelam disini ya Allah, begitu
terus pinta saya. Terbayang wajah ibunda, wajah kakak dan adik saya, terbayang
wajah teman-teman, Ya Allah hamba takut sekali. Teman kami yang ada di atas
atap kapal, benar-benar merasakan dan melihat bagaimana ombak mengamuk
mempermainkan kapal kecil ini, dengan para penghuninya yang benar-benar pucat
pasi. Berpegangan kepada tiang atap kapal. Tak ada lagi senda gurau, yang
terdengar adalah lantunan ayat-ayat Allah untuk melembutkan ombak, dan hujan. Goyangan
oleh gelombang membuat isi perut pun ikut keluar. Muntah yang tak cukup sekali.
Lama sekali rasanya aku berada di samudra ini, dimanakah bibir pantai. Tak
Nampak kah oleh nahkoda.
pelaku :D |
Dan
saat sinar mulai menerpa lautan, maka gelombang di lautan perlahan turun. Jaket
dan semua pakaian basah tersiram air yang masuk ke dalam kapal saat dimainkan
gelombang, tak peduli dengan sinar orange yang perlahan naik, aku dan
teman-teman langsung sujud syukur dan memuji nama-Nya karena akhirnya berhasil
menginjakkan kaki di bibir pantai ini, di kaki Anak Gunung Krakatau dengan
pasirnya yang hitam. Beberapa teman masih lemas, setelah mengeluarkan isi
perutnya berkali-kali. Mual, pusing baru saja berakhir. Sesaat aku dan beberapa
teman hanya duduk memandang kapal kecil itu. Setelah semua jiwa kembali masuk
ke dalam tubuh, akhirnya aku mulai
mencari matahari yang sudah mulai tinggi, dan bergegas masuk ke dalam kawasan
Cagar Alam Krakatau. Pelan-pelan mulai mendaki anak Gunung Krakatau, sebuah
gunung yang aktif, yang saat ini mucul di permukaan laut dengan ketinggian kuran
lebih 300 mdpl. Sambil berjalan melewati hutan kecil, aku membayangkan Krakatau
yang meletus di tahun 1800an dengan dahsyatnya.
Keindahan pulau sebuku, sebesi, umang dan lainnya Nampak jelas saat aku memandangnya dari puncak.
Terbayar sudah rasa takut yang melumuri tubuhku subuh tadi. Saat aku
dibuat diam tak berkutik selama perjalanan. Maha Suci Engkau Ya Allah, semuanya
indah. Itu yang keluar dari bibirku saat berada di puncak melihat indahnya,
tenangnya lautan, yang mengelilingi pulau-pulau itu.
Puas mengambil gambar, dan
tak lupa berfoto dengan bendera karena hari itu tepat tgl 17 Agustus, kami
merapat melakukan upacara kecil. Mengingat sedikit perjuangan para pendahulu kami. Teksturnya tanah yang berpasir dan berbatu membuat aku sempat terjatuh beberapa kali saat kaki bergerak turun.
Hari belum siang, namun matahari sangat puas
memancarkan sinar teriknya. Rencana mengitari anak gunung dibatalkan, dan kami
sepakat mengamininya karena ombak untuk berputar cenderung belum tenang.
Batalkan saja pinta kami. Lebih baik ke Legon Cabe, untuk melihat alam bawah
lautnya, tepat di bawah gunung Rakata. Rasa khawatir masih ada dihati kami,
jika harus berlama-lama di kapal kecil ini.
sayonara |
lelaaaaaah |
Bergerak
kapal kami meninggalkan Krakatau, Cikwen yang berada di sebelah sudah tidak
merasa mual. Maka kami pun siap bersenang-senang. Dan Wooooooow indaahnya,
ketika nahkoda mulai mematikan mesinnya, tepat di bawah kapal, aku dapat
melihat dengan jelas ikan berwarna warni berkeliling di antara terumbu karang.
Tanpa perlu menyelam aku dan teman-teman berdecak kagum menyaksikan ini dari
atas kapal. "Ayoooo turun, "Bang Indra dan Derry bersuara.
'Aku gak bisa berenang", jawabku. Gak pa-pa, semua gak ada yang bisa berenang, dan aku tahu dia berdusta
hahaha. Cik turun yuk, ajak aku mencari teman. "Mikhaaa......, aku mau turun tapi
pegangin yaa, teriak aku memanggil Mikha yang sudah asik bermain dengan ikan.
Mas Rudi memberikan aku botol plastic berisi makanan ikan untuk disemprotkan
saat aku turun nanti. Yesss….berani, batinku. Maka ku kenakan pelampung
berwarna cerah itu dan byuuuuuur. Cikwen pun begitu. Lalu aku mulai merasakan
kesukaan saat mata ini menatap ikan-ikan aneka warna berputar disekitar
tubuhku. Senang sangat.
kolam bercampur |
Tetiba Cikwen naik lagi ke perahu, pusing katanya. Aku masih asik memberi makan. Tapi mengapa…..,saat aku tidak menyemprot botol ini ikan-ikan tetap berkumpul di sekitarku, ada makanan lain rupanya. Olahan lembut hingga ikan-ikan menyukainya. Aku tidak memperhatikan siapa yang memberi makan dari atas kapal. Semakin banyak ikan berkumpul di sekitarku, dan aku mendongak ke arah kapal. Aku langsung menjadi mual dan berteriak, cikweeeeeen…..jangan muntahin ke bawah. Hentikaaaaaaaaaaaannn!!!
Ternyata ikan-ikan berkumpul dekatku karena
tepat dari atas isi perut cikwen di keluarkan, dan aku berenang-renang di dalamnya.
Haduuuuuuuuh, geuleuh dan entah apalagi yang ku rasakan, cik wen masih saja
menumpahkan ke dalam lautan dan langsung disambut oleh ikan-ikan yang
sepertinya sangat suka dengan nasi uduk olahan lambung cikwen sedari subuh tadi. Aku buru-buru
menepi lalu mencari daerah yang bersih sambil menghilangkan rasa mual yang
tiba-tiba datang.
Bergegas naik ke kapal dan terbahaklah semua melihat aku dan
cikwen berpandangan sesaat. Wajahnya pasi, mungkin banyak yang dikeluarkannya,
urung tanganku mencubit pipinya. Mencoba membantunya agar tak mual lagi.
Biarlah persoalan isi perut ini akan saya selesaikan lain waktu hahahahha.
Rasanya ingin berendam cepat- cepat jika mengingat tentang kolam ikan ini
beserta makanan halusnya. Ya begitulah aku dan dia, kadang terjebak dalam
kekonyolan dan kebodohan yang membuat aku tersenyum saat mengingatnya di lain
waktu. Dan saat tgl 17 ini, tepat 365 hari yang lalu, saya jadi ingat lagi
tentang rendaman mujarab itu.
Menjijikan,
menggelikan namun juga menjadi sebuah lintasan kecil yang susah untuk dibiarkan
begitu saja, tetap ada di lipatan memori ku. Cikwen aku belum membalasnya yaaa.
Ingat itu hahaahaahaaha.
Usai berendam dalam kolam raksasa, maka kami kembali menuju Sebesi dan bersiap untuk pulang. Mengarungi samudra kembali, namun kali ini lebih rileks karena tidak berlayar dalam kegelapan. Cikwen masih juga membuang olahan makanan lewat mulutnya, mbak Dian sudah tidak lagi. Sampai di Dermaga Canti, menyempatkan untuk makan karena perjalanan masih cukup jauh. Suasana sore itu berbeda tidak seperti saat pagi kemaren. Tidak ada lagi penjual pete dan pisang yang berlimpah. Semua bergegas mengejar kapal, dan berharap mendapatkan tempat yang nyaman seperti saat hendak berangkat, dan lagi-lagi kami bertemu dengan banyak pasukan ber-ransel bisa jadi ini kelompok yang sama-sama saat awal berangkat.
saat berangkat |
Dan malam ini, 365 hari yang lalu membuat aku menjadi berkurang keberanian berada di kapal kecil untuk menyebrang. Hingga akhirnya aku mengalaminya lagi saat berada di Green Bay/ Teluk Hijau. Dan yang lebih parah, entah mengapa setiap melihat pelampung di kolam raksasa itu yang ku ingat adalah aku pernah ada disana, berendam dalam ramuan spesial hasil olahan si mungil bermata sipit.
Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkkkkkkkkkkkk,tunggu pembalasanku