Minggu, 09 Agustus 2015

Kareumbi di Awal Agustus #Tidak hanya sekedar piknik_Mata Bumi

Pasukan ^KurangPikNik^ Cilegon
Aku sebelumnya tidak mengenal komunitas ini, sampai kurang lebih satu bulan lalu salah seorang teman lama di Cimohay eh Cimahi mengirimkan pesan tentang kegiatan yang akan dilakukan oleh komunitas tersebut di awal Agustus, bermalam di rumah pohon. Sangat ingin bergabung namun hiruk pikuk lebaran membuat pesan ini terabaikan, dan saat teman-teman mulai berada di kampung halaman, aku baru teringat kembali dengan rumah pohon. Mencoba mencari tahu tentang kegiatan komunitas ini, karena sepertinya berbeda dengan yang lainnya apa yang dimaksud dengan geologi, geotrek dan hal lainnya. Menarik pake banget, dan langsung ku hubungi nomer handphone Kang Ronny yang dijadikan Contac Person untuk langsung pesan 6 seat.

Rumah pohon kami, nyaman banggettt
Alhamdulillah seat masih tersedia, langsung sebarkan info kepada pasukan ^kurangpiknik^.  Tidak ada satu pun dari team yang pernah jalan bareng dengan komunitas ini heheh, namun kami yakin bahwa trip ini akan menjadi sebuah pengalaman tersendiri. Oya, anggota pasukan akhirnya bertambah menjadi 8 orang, di hari terakhir Bang Anton memutuskan untuk bergabung, begitu pula salah seorang pembesar dari teman kami. Disebut pembesar karena volume tubuhnya yang cukup besar hahahah Pasukan kami tidak seluruhnya pernah bertemu. Temannya teman, lalu temennya bawa teman lagi, begitulah kebiasaan kami saat piknik, namun dengan niat silaturahmi dan berhappy ria, kami selalu menikmatinya walaupun belum saling kenal sebelumnya.
Jumat usai sholat magrib, ditemani rinai hujan yang masih malu-malu kami meninggalkan Cilegon, menuju Bandung. Anay, Ibeth dan Bang Anton sudah sedari pagi di Bandung karena ada tugas kantor dari Jakarta. Hujan menderas, jarak pandang semakin pendek. Henio atau Mang Ucon berkonsentrasi penuh perlahan menembus hujan. Zul seorang teman yang tinggal di BSD sudah menunggu di Rest Area Karang Tengah. Mereda sebentar saat mobil memasuki rest area, dan akhirnya menderas kembali. Kecepatan mobil semakin berkurang karena antrian kendaraan semakin panjang. Macet di akhir pekan menjadi sebuah santapan menuju Bandung. Mengisi perjalanan dengan segala obrolan, saling berkenalan, dan tentu mengunyah semua camilan yang tersedia. Hampir pukul 2 dinihari, mobil yang membawa kami tepat melewati Tol Pasteur…..yeaaa setelah 7 jam akhirnya sampailah kami di Kota Bandung. Perjalanan yang lumayan melelahkan Jjauh dari prediksi yang biasanya hanya butuh 3,5 sampai dengan 4 jam. Sebentar lagi pagi, maka kami memutuskan tidak menuju hotel namun kami ke rumah teman, yang tidak jauh dari Museum Geologi. 

Kue lebaran dan teh anget dari mas Adi
Adi teman kami yang menyambut di kostannya. Teh panas dan kue lebaran disediakannya. Perut meminta jatahnya, maka nasi goreng pun menjadi santapan dinihari. Tak berapa lama Cikwen nyenyak tertidur berbalut selimut biru, alarm semoga membangunkan kami pukul 05 pagi. Aku ikut merebahkan badan disampingnya, dan terlelap semua.


“Waaaah, Mang Ucon baru saja tidur.” begitu jawab Agung saat aku bergegas mandi. Acara makan bubur di pagi hari gagal, karena jam sudah menunjukkan hampir pukul 07 pagi dan Mang Ucon baru bersiap. Anay, Ibeth dan Bang Anton sudah di halaman Museum Geologi. Aku bergegas turun bersama CikWen lalu melakukan registrasi. Tiba-tiba ada yang memanggilku, Haiiii…..akhirnya aku bertemu dengan teman lamaku  yang sudah bertahun-tahun tidak bersua. Uda panggilanku untuknya. Masih seperti dulu namun sepertinya berat badannya turun beberapa kilogram, jadi terlihat lebih kurus. 

inilah kami 
Belum sempat ngobrol panjang dan melepas tawa,  ternyataaaaa…..teman-teman lain sudah membuat lingkaran dan sedang berkenalan satu dengan lainnya. Sambil merapikan atribut syal hijau cerah dan pin, aku ikut ambil bagian mengenalkan diri begitu pula Cikwen dan Uda. Di pagi inilah, aku akhirnya mengenal bpk Titi Bachtiar ( Pak TeBe), Kang Ronny dan panitia lainnya. Kesan pertama di pagi itu sosok Pak Tebe sangat bersahabat meski ini adalah pertemuan dan perjalanan pertama kami dengan beliau. Usai saling mengenalkan diri, tentu momen foto keluarga menjadi momen wajib. Diabadikan dengan indah oleh Teh Kuke sang fotographer geotrek yang mungil dan kece. Belum puas, aku dan teman-teman mengulanginya lagi dengan judul kontingen Cilegon hahah. Uda Budi yang dari Cimohay pun hari itu resmi mutasi ke wilayah Cilegon hahaha. Haiiii………….peserta bersiap masuk kedalam truk TNI, maka aku dengan formasi lengkap masuk ke armada yang berwarna
hallooooo.......seru deh naik truk TNI
hijau tua ini, khas armada TNI. Ibeth dan Bang Anton mengambil posisi di sudut. Aku, Anay dan Cikwen berbaris dalam deret kanan. Uda dan Zul sepertinya serius bercerita duduk bersebrangan denganku. Mang Ucon beserta Agung sudah mendapatkan posisi paling enak melantai tanpa bangku. Tepat jam 8, truk mulai berjalan. Bersama kami ada sebuah keluarga yang sangat mengasyikan. Putranya yang masih tergolong balita mencuri perhatian kami semua. Dibuatnya kami semua terpesona dengan gaya coolnya, tidak seperti kebanyakan anak seusianya, terlihat sangat mandiri. Aku duduk bersebelahan dengan bundanya. Farhan nama bocah berusia 4 tahun tersebut, memang sangat memimpikan pergi seperti ini. Tidak banyak bicara, namun terlihat sangat menikmati perjalanan di pangkuan ayahnya.
Truk mulai meninggalkan kota Bandung, mulai memasuki Tol Cileunyi. Tujuan kami adalah Taman Buru Gn. Masigit Kareumbi. Perjalanan lancar, sambil berkenalan kiri kanan, kami juga mulai menghabiskan aneka keripik dari yang berbentuk hingga yang tinggal bubuk hehe. Anay ingat banget jika aku  adalah penggemar rengginang, maka bekal dari Cirebon adalah rengginang udang khas dari sana. Eeeitttt….jalannya truk mulai melambat, kami mulai terguncang, mulai menanjak dan berkelok, rupanya kami mulai masuk kawasan bukit ‘Candi”, setengah jam kurang lebih dari pintu tol. Turunlah kita semua, Nampak gunung pasir atau apa yak….matahari terik menyengat. Saya mulai bertanya-tanya bagian mana yang indah. Mengapa Pak Tebe menurunkan kami disini. Eeeeeh knapa semua berlari ke lapangan yang luas itu. Ternyata ada sesuatu yang indah disana. Sawah bertingkat seperti di Bali sana, menghampar dibawah tebing tempat kami berdiri. Bagaikan karpet hijau. Panas tidak terasa lagi, terajana eh terasering menghipnotis sebagian dari kami.  Saat beberapa teman masih sibuk mengabadikan kawasan Candi saat Pak Tebe mulai menjelaskan tentang Bandung. Tidak sedikitpun nampak lelah di raut wajahnya, meski panas sangat. Tangannya sibuk menggambarkan sungai, lereng, tanah, daratan yang menjadi sebuah sejarah Bandung. Pak Tebe bercerita tentang meander (aku mengingatnya “minder”), yaitu aliran sungai yang lambat, karena terjadi karena pengalihan alias buatan manusia. Jadi Cileley itu sungai yang meander berbeda dengan Citarik yang deras. Penjelasan seperti inilah yang tidak ditemukan dalam piknik lain, saya jadi belajar tentang sesuatu yang baru. Lalu kisah dilanjutkan kembali dengan kisah Gunung Sunda Purba, Gunung Giri, dan Tangkuban Perahu, ternyata mereka itu satu turunan dari mulai buyut sampai dengan cicit. Gunung pun berkembang biak. Menurut Pak TeBe, kota Bandung termasuk daerah yang mudah hancur jika terkena gempa, kota yang terbentuk dalam cekungan namun terlihat rata karena sudah diratakan oleh tumpahan gunung-gunung tersebut.
jepretan teh Kuke, makasih yaaa :)
Mengenal arti magma, lahar, lava. Olaala..ternyata istilah lahar panas dan dan lahar dingin pun tak tepat. Lahar yang turun itu dikarenakan ada hujan yang mendorongnya untuk mengalir, jadi tetap panas walaupun disebut lahar dingin. Penjelasan terus berlanjut mengenai istilah Masigit, tujuan akhir kami. Berbeda dengan apa yang saya pikirkan, saya kira bernama Masigit karena berada di sekitar masjid atau diliputi banyak masjid. Masigit yang dimaksud disini adalah seperti gigit sedikit demi sedikit, begitu kata Pak TeBe. Jadi tempat ini adalah tempat yang habis secara pelan-pelan seperti digigit begitu. Usai menyimak kisah tentang gunung dan teman-temannya semua pasukan kembali ke dalam truk, eeh tapi kita berfoto dulu dengan pak TeBe, bapak yang keren banget. Lanjut meninggalkan candi. Sebentar, ada tukang tahu. Sibuk diserbu penghuni truk pertama. Kami yang di truk berikutnya sudah tak sempat lagi. Yaaa sudahlah, biarkan tahu anget itu.  Lupakan kataku terhadap Anay, yang matanya masih tak berkedip memandang tukang tahu tersebut. Atmosfer mulai terasa berbeda, jalanan mulai mengecil, dan ooooh…..saat melewati sebuah gapura di jalan desa, terpal truk kami ikut tersangkut, sobek deh. Terhenti sebentar lalu berjalan perlahan kembali. Jalan menikung membuat saya akhirnya berubah posisi, melantai bersama farhan menjadi lebih terasa aman. Sebagian teman berpegangan kuat khawatir ikut melantai juga. Debu terasa memenuhi rongga hidung, kemarau membuat tanah semakin berdebu rupanya.

Sampaiiiii…..mulai gerak-gerak badan tapi tiba-tiba…..buuuugggh, wah..salah seorang peserta terjatuh, bapak yang duduk persis di mulut truk, oh..semoga tak apa2. Sempat berdiri namun tiba-tiba beliau mengeluh pusing dan gemetaran, bapak yang ternyata bernama pak Naka dan jepretannya yahuud benar, beristirahat sebentar, mencoba menormalkan detak jantung dan kepusingannya yang tiba-tiba datang. alhamdulilah tangannya tidak terluka atau terjadi sesuatu.
Kami bersiap lanjut, eeeh sebentar tukang tahu yang tadi kami lihat di daerah Candi sudah bersama kami. Hebaaaat, tak lelah mengejar truk kami. Maka tahu dan bacang pun menjadi santapan awal kami sebelum berjalan kaki menuju rumah pohon yang berada di dasar kaldera Gunung Kareumbi yang meletus ratusan tahun lalu. Gunung ini tingginya 4000an dpl, nah mangkok raksasa alias kaldera inilah tempat kami akan berkemah. 
Akhirrrrrnya tahuuuuuuuu..:)

Bu Inen, sang pencerah kehutanan
Hijau dan penuh dengan pohon pinus yang menjulang waaah segaaaar, begitu kami sampai di lokasi. Selonjoran sambil mendengarkan Pak Tebe bercerita kembali tentang Taman Buru yang satu-satunya berada di Pulau Jawa, dari 14 Taman Buru di Indonesia.
Kisah berlanjut dengan menu dari ibu Inen, beliau salah satu peserta dan berasal dari departemen Kehutanan. Ceritanya sungguh menarik, bagaimana proses penghijauan kita yang salah kaprah.  Ingin serba cepat alias instan maka pinus dan akasia menjadi pohon penghijauan. Tanah kita rusak, mereka cepat sekali bertumbuh tapi juga mengganas, memakan semua tumbuhan lainnya. Sifatnya yang lapar membuat vegetasi lain terganggu, tidak bisa tumbuh. Ooh sediiiih saya mendengar penjelasan dari bu Inen. Mengapa ini terjadi yaa?.........benarlah adanya jangan suka adops semua yang dari luar, karena belum tentu sesuai dengan kondisi lokal. Jadi semestinya bertahanlah dengan vegetasi lokal. Karena itulah tempat mereka tumbuh. Hukum ini berlaku pula dalam mencari pasangan..uppps#gagalpokus.

Waiiiiits ….tunggu..kenapa farhan menangis sambil berlari-lari, Bundaaaaa aku lapaaar. Memecah keheningan. Olaaaalaa ternyata farhan kelaparan, walaupun cemilan sudah disuplai untuk farhan, tapi nasi harus kudu dan wajib. Duuh Farhan kamu jadi makin menggemaskan aja. Dan mulai saat itu, teman-teman saya slalu berteriak dengan gaya Farhan, Buleeek aku lapar. Buleeek aku ngantuuuk begitulah password temanku saat ini. Sebelum makan siang, kang Dharmanto orang penting di Kareumbi menjelaskan pula tentang TB Kareumbi ini. Ada sebuah tips tentang menangani sampah yang bisa jadi ditinggalkan oleh pengunjung. Jadi setiap pengunjung yang akan bermalam diwajibkan membayar uang kebersihan Rp.500.000 yang akan dikembalikan jika saat mereka selesai dan harus dipastikan sampah tidak ada. Kereeen nih caranya, terbayang gunung yang sering menjadi tempat sampah para pendaki. Mengaku mencintai alam tapi hmmm….tidak ramah sama sekali terhadap alam. Acara makan siang siap, wow….ada ikan mas goreng dan sambel tomat. Dengan kondisi lapar santapan menjadi cepat sekali tandas. Nasi liwet yang nikmat dimakan di tengah hutan.





Ini kamar mandi kami, airnya dingiiiiin dan segar
Bersiap sholat, waaaaaah airnya dingin dan seger banget, itu saya rasakan saat mengambil air wudhu.Aliran airnya tidak berhenti dari pancuran, baik sekali alam terhadap kita. Eeeeh ada yang menemukan pacet, hewan penghisap darah yang menurut Pak Tebe tidak perlu membuat kita takut.
Acara berlanjut, bersiap traking mengelilingi sebagian hutan bersama pak Djuandi, sahabat herba. Tidak kalah keren dengan pak TeBe, pak Djuandi memperlihatkan kepiawaiannya dalam menjelaskan aneka tanaman yang kita jumpai. Bahasa latin meluncur deras tanpa jeda dari pakar tanaman ini. Beliau bergelut kurang lebih 34 tahun bersama tanaman. Seruuu sambil bernyanyi, walaupun saya tidak tahu artinya karena banyak menggunakan istilah bahasa sunda. Mengikuti jejak kaki beliau pikiran saya jadi teringat dengan mata kuliah farmakognosi. Pelajaran yang menguras daya ingat hahaha bertahun lalu. Kecombrang, aneka talas, daun cabe-cabean, serta ki urat masih saya ingat walau sudah seminggu berlalu, eeh ada yang lebih melekat lagi tentang ki tombe. Tanaman yang berfungsi sebagai obat ketombe. Tumbuhan dengan ciri khas ungu mengingatkan saya kepada Anay, maka sejak hari itu Anay resmi berganti nama menjadi Ki tombe hahaha. Kami pun menemukan banyak jenis kupu-kupu dengan warna sayap yang langka kami temui di kota, capung dengan warna hitam dan biru, laba-laba aneka jenis. 



Pak Djuandi mengingatkan juga tentang fungsi tanaman yang bisa saja menjadi berbeda saat digunakan oleh suatu ras/suku bangsa karena berhubungan dengan makanan yang dikonsumsinya. Lanjut berjalan bertemu dengan daun poh-pohan, beluntas dan akhirnya menepi mencari kareumbi. Seperti apa kereumbi itu??...tetiba pak djuandi memegang pohon yang sedari tadi ada dihadapan kita. Ternyata pohon itu ada depan kita berdahan merah. Belum terlalu tinggi. Waah, wajah pak Djuandi saat itu terlihat riang sekali, berhasil membuat kami pesertanya berlelah mencari Kareumbi. Ternyata pohonnya didekat kita.




Waaaah senangnya ada rujak buah dan bakwan yang baru saja diangkat dari penggorengan. Ubi rebus pun ada. Teteh panitia Geotrek mengerti benar kita ingin makan rujak hahaha. Saat kita sampai di perkemahan. Istirahat sejenak, ikutan masuk antrian depan kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari rumah pohon kami. Ohyaaa..kami menginap di rumah pohon yang berlantai dua. Menyenangkan sekali, nah kaum adamnya dikelompokan dalam satu tenda, Bersiap untuk makan lama, api unggun sudah menyala. Makan malamnya istimewa karena menunya tumpeng. Yaa…acara geotrek kali ini sekaligus peringatan ulang tahun Mata Bumi yang ke-5. Potong tumpeng didekat api unggun, lanjut makan bersama. 
Dan kami memilih makan bersama dalam satu tampah. Nasi kuning lengkap dengan tempe oreg dan telur. Diterangi cahaya purnama kami menghabiskan malam dengan aneka permainan. Konsentrasi ayo konsentrasi hahaha. Tertawalah kami saat salah seorang peserta bernomer 10 tak pernah muncul, apakah ini nomer jadi-jadian?....olala ternyata ada tapi sedang ke toilet. Dan toiletny jaaaauh ke sumedang hahaha. Kang Sandi namanya. Lanjut dengan permainan oleh kang Deny….wah bagi-bagi hadiah juga. Malam itu diujung permainan, saya dan uda berhasil membawa pulang satu kaos. Sedangkan agung dinobatkan sebagai om dumang karena persembahannya bergaya dumang hahaha. Merapatkan diri dalam kantong tidur, sebenarnya masih ingin bertukar cerita namun karena perjalanan dari Cilegon yang melelahkan kami akhirnya merapatkan diri untuk tidur. Indaaaah sekali malam itu. Bulan bulat bersinar penuh dengan cahaya keemasan menjadi penerang malam itu, belum lagi ujung-ujung pinus yang menjulang menjadi atap kami. Pagiiiiii kami dikejutkan dengan suara Farhan…………..Bundaaaaa aku dingin. Pecahlah kesunyian pagi itu. 


Berolah raga sejenak, bermain melepas penat, tertawa lepas memainkan game seru dari panitia. Menikmati pagi di Kareumbi, menikmati tubuh ini ini bermandi cahaya pagi yang benar-benar cerah. Masih banyak yang bermalasan di tenda, ataupun bergoyang di hammock. Sungguh indah semburat cahaya menembus daun pinus. Malas mandi tapi harus mandi, Segaaaar pada akhirnya.  Berlanjut dengan materi yang tertunda. Kami belajar membaca kompas, membaca peta. 

Om dumang belajar kompas
Waaaah….keren, saya belajar menentukan arah obyek dengan lengkap hahaha. Target kena, 180 derajat. Seruuuu. Trimakasih ilmunya kang. (lupa namanya). 

Acara hampir selesai….berkemas dan kami lanjut ke penangkaran rusa. Eeh ada tomat, ternyata hamparan kebun tomat pun tak jauh dari situ. Tomatnya enak banget, dagingnya tebal, kang ….satu dus deh. Pinta saya pada salah seorang
akang yang sedang memilah tomat. Senangnya berada diantara para petani tomat. Mampir sebentar ke tempat rusa, sayang rusanya belum banyak, hanya ada beberapa ekor, saya lebih banyak berbincang dengan petani tomat. Selagi berbincang datang lagi tomat 2 keranjang besar. Waah senangnya. Usai sudah, kami bersiap kembali
masuk truk yang akan membawa kami ke Kota Bandung, menuju awal kita berkumpul. Museum Geologi.

Perjalanan kemarin melahirkan banyak inspirasi bagi saya. Bergabung dengan kurang lebih 55 peserta dari jabodetabek dan Bandung tentunya, dengan team perjalanan yang hebat. Salut untuk Pak TeBe yang memiliki ide cemerlang ini, membuat piknik tidak sekedar piknik, namun belajar dengan mengasyikan, mencintai alam dan menumbuhkan rasa bangga bahwa alam kita begitu mempesona mata terlebih jika kita mengetahui sejarahnya, mengetahui proses terjadinya, maka kecintaan kita terhadap bangsa ini seharusnya lebih dan lebih.  Wajahnya selalu ceria, dan humoris, ilmunya dibagikan dengan rasa cinta dan penuh ketulusan. Tidak hanya itu saya juga belajar tentang peran penting orang tua terhadap putra-putrinya menumbuhkan rasa cinta terhadap alam dengan cara yang menyenangkan. Belajar mandiri, belajar berinteraksi dengan orang lain, sedari kecil. 
Farhan dan Fakhri
Piknik kali ini, menjadi sebuah wisata keluarga. Bunda wiwi…, saya belajar banyak lho. Farhaaan..terima kasih ya untuk semua keceriaannya. Bergabung di Geotrek Mata Bumi membuat ngetrip dan piknik bukan hanya sekedar piknik.

Cerita masih berlanjut karena setelah mendarat dengan selamat di Museum Geologi, kami pasukan ^KurangPiknik^ melanjutkan ekspedisi ke kota. Nanti berlanjut yaaa dengan tragedi meja 22 hahaha.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar