Pasukan ^KurangPikNik^ Cilegon |
Aku sebelumnya tidak mengenal
komunitas ini, sampai kurang lebih satu bulan lalu salah seorang teman lama di Cimohay
eh Cimahi mengirimkan pesan tentang kegiatan yang akan dilakukan oleh komunitas
tersebut di awal Agustus, bermalam di rumah pohon. Sangat ingin bergabung namun
hiruk pikuk lebaran membuat pesan ini terabaikan, dan saat teman-teman mulai
berada di kampung halaman, aku baru teringat kembali dengan rumah pohon.
Mencoba mencari tahu tentang kegiatan komunitas ini, karena sepertinya berbeda
dengan yang lainnya apa yang dimaksud dengan geologi, geotrek dan hal lainnya. Menarik
pake banget, dan langsung ku hubungi nomer handphone Kang Ronny yang dijadikan Contac Person untuk langsung pesan 6
seat.
Rumah pohon kami, nyaman banggettt |
Kue lebaran dan teh anget dari mas Adi |
Adi teman kami yang
menyambut di kostannya. Teh panas dan kue lebaran disediakannya. Perut meminta
jatahnya, maka nasi goreng pun menjadi santapan dinihari. Tak berapa lama
Cikwen nyenyak tertidur berbalut selimut biru, alarm semoga membangunkan kami
pukul 05 pagi. Aku ikut merebahkan badan disampingnya, dan terlelap semua.
“Waaaah, Mang Ucon baru saja tidur.”
begitu jawab Agung saat aku bergegas mandi. Acara makan bubur di pagi hari
gagal, karena jam sudah menunjukkan hampir pukul 07 pagi dan Mang Ucon baru
bersiap. Anay, Ibeth dan Bang Anton sudah di halaman Museum Geologi. Aku
bergegas turun bersama CikWen lalu melakukan registrasi. Tiba-tiba ada yang
memanggilku, Haiiii…..akhirnya aku bertemu dengan teman lamaku yang sudah bertahun-tahun tidak bersua. Uda
panggilanku untuknya. Masih seperti dulu namun sepertinya berat badannya turun
beberapa kilogram, jadi terlihat lebih kurus.
inilah kami |
Belum sempat ngobrol panjang dan
melepas tawa, ternyataaaaa…..teman-teman
lain sudah membuat lingkaran dan sedang berkenalan satu dengan lainnya. Sambil
merapikan atribut syal hijau cerah dan pin, aku ikut ambil bagian mengenalkan
diri begitu pula Cikwen dan Uda. Di pagi inilah, aku akhirnya mengenal bpk Titi
Bachtiar ( Pak TeBe), Kang Ronny dan panitia lainnya. Kesan pertama di pagi itu
sosok Pak Tebe sangat bersahabat meski ini adalah pertemuan dan perjalanan
pertama kami dengan beliau. Usai saling mengenalkan diri, tentu momen foto
keluarga menjadi momen wajib. Diabadikan dengan indah oleh Teh Kuke sang
fotographer geotrek yang mungil dan kece. Belum puas, aku dan teman-teman
mengulanginya lagi dengan judul kontingen Cilegon hahah. Uda Budi yang dari
Cimohay pun hari itu resmi mutasi ke wilayah Cilegon hahaha. Haiiii………….peserta
bersiap masuk kedalam truk TNI, maka aku dengan formasi lengkap masuk ke armada
yang berwarna
hijau tua ini, khas armada TNI. Ibeth dan Bang Anton mengambil
posisi di sudut. Aku, Anay dan Cikwen berbaris dalam deret kanan. Uda dan Zul
sepertinya serius bercerita duduk bersebrangan denganku. Mang Ucon beserta
Agung sudah mendapatkan posisi paling enak melantai tanpa bangku. Tepat jam 8,
truk mulai berjalan. Bersama kami ada sebuah keluarga yang sangat mengasyikan.
Putranya yang masih tergolong balita mencuri perhatian kami semua. Dibuatnya
kami semua terpesona dengan gaya coolnya, tidak seperti kebanyakan anak
seusianya, terlihat sangat mandiri. Aku duduk bersebelahan dengan bundanya.
Farhan nama bocah berusia 4 tahun tersebut, memang sangat memimpikan pergi seperti
ini. Tidak banyak bicara, namun terlihat sangat menikmati perjalanan di
pangkuan ayahnya.
hallooooo.......seru deh naik truk TNI |
Truk mulai meninggalkan kota Bandung,
mulai memasuki Tol Cileunyi. Tujuan kami adalah Taman Buru Gn. Masigit
Kareumbi. Perjalanan lancar, sambil berkenalan kiri kanan, kami juga mulai
menghabiskan aneka keripik dari yang berbentuk hingga yang tinggal bubuk hehe.
Anay ingat banget jika aku adalah
penggemar rengginang, maka bekal dari Cirebon adalah rengginang udang khas dari
sana. Eeeitttt….jalannya truk mulai melambat, kami mulai terguncang, mulai
menanjak dan berkelok, rupanya kami mulai masuk kawasan bukit ‘Candi”, setengah jam kurang lebih dari pintu tol. Turunlah kita
semua, Nampak gunung pasir atau apa yak….matahari terik menyengat. Saya mulai
bertanya-tanya bagian mana yang indah. Mengapa Pak Tebe menurunkan kami disini.
Eeeeeh knapa semua berlari ke lapangan yang luas itu. Ternyata ada sesuatu yang
indah disana. Sawah bertingkat seperti di Bali sana, menghampar dibawah tebing
tempat kami berdiri. Bagaikan karpet hijau. Panas tidak terasa lagi, terajana eh
terasering menghipnotis sebagian dari kami.
Saat beberapa teman masih sibuk mengabadikan kawasan Candi saat Pak Tebe
mulai menjelaskan tentang Bandung. Tidak sedikitpun nampak lelah di raut
wajahnya, meski panas sangat. Tangannya sibuk menggambarkan sungai, lereng,
tanah, daratan yang menjadi sebuah sejarah Bandung. Pak Tebe bercerita tentang
meander (aku mengingatnya “minder”), yaitu aliran sungai yang lambat, karena
terjadi karena pengalihan alias buatan manusia. Jadi Cileley itu sungai yang
meander berbeda dengan Citarik yang deras. Penjelasan seperti inilah yang tidak
ditemukan dalam piknik lain, saya jadi belajar tentang sesuatu yang baru. Lalu
kisah dilanjutkan kembali dengan kisah Gunung Sunda Purba, Gunung Giri, dan
Tangkuban Perahu, ternyata mereka itu satu turunan dari mulai buyut sampai
dengan cicit. Gunung pun berkembang biak. Menurut Pak TeBe, kota Bandung
termasuk daerah yang mudah hancur jika terkena gempa, kota yang terbentuk dalam
cekungan namun terlihat rata karena sudah diratakan oleh tumpahan gunung-gunung
tersebut.
Mengenal arti magma, lahar, lava. Olaala..ternyata istilah lahar
panas dan dan lahar dingin pun tak tepat. Lahar yang turun itu dikarenakan ada
hujan yang mendorongnya untuk mengalir, jadi tetap panas walaupun disebut lahar
dingin. Penjelasan terus berlanjut mengenai istilah Masigit, tujuan akhir kami.
Berbeda dengan apa yang saya pikirkan, saya kira bernama Masigit karena berada
di sekitar masjid atau diliputi banyak masjid. Masigit yang dimaksud disini
adalah seperti gigit sedikit demi sedikit, begitu kata Pak TeBe. Jadi tempat
ini adalah tempat yang habis secara pelan-pelan seperti digigit begitu. Usai
menyimak kisah tentang gunung dan teman-temannya semua pasukan kembali ke dalam
truk, eeh tapi kita berfoto dulu dengan pak TeBe, bapak yang keren banget.
Lanjut meninggalkan candi. Sebentar, ada tukang tahu. Sibuk diserbu penghuni
truk pertama. Kami yang di truk berikutnya sudah tak sempat lagi. Yaaa
sudahlah, biarkan tahu anget itu. Lupakan kataku terhadap Anay, yang matanya masih tak berkedip memandang tukang tahu tersebut. Atmosfer mulai
terasa berbeda, jalanan mulai mengecil, dan ooooh…..saat melewati sebuah gapura
di jalan desa, terpal truk kami ikut tersangkut, sobek deh. Terhenti sebentar
lalu berjalan perlahan kembali. Jalan menikung membuat saya akhirnya berubah
posisi, melantai bersama farhan menjadi lebih terasa aman. Sebagian teman
berpegangan kuat khawatir ikut melantai juga. Debu terasa memenuhi rongga hidung, kemarau membuat tanah semakin berdebu rupanya.
jepretan teh Kuke, makasih yaaa :) |
Kami bersiap lanjut, eeeh sebentar tukang tahu yang tadi
kami lihat di daerah Candi sudah bersama kami. Hebaaaat, tak lelah mengejar
truk kami. Maka tahu dan bacang pun menjadi santapan awal kami sebelum berjalan
kaki menuju rumah pohon yang berada di dasar kaldera Gunung Kareumbi yang
meletus ratusan tahun lalu. Gunung ini tingginya 4000an dpl, nah mangkok
raksasa alias kaldera inilah tempat kami akan berkemah.
Akhirrrrrnya tahuuuuuuuu..:) |
Bu Inen, sang pencerah kehutanan |
Hijau dan penuh dengan pohon pinus yang menjulang waaah segaaaar, begitu kami sampai di lokasi. Selonjoran sambil mendengarkan Pak Tebe bercerita kembali tentang Taman Buru yang satu-satunya berada di Pulau Jawa, dari 14 Taman Buru di Indonesia.
Kisah
berlanjut dengan menu dari ibu Inen, beliau salah satu peserta dan berasal dari
departemen Kehutanan. Ceritanya sungguh menarik, bagaimana proses penghijauan
kita yang salah kaprah. Ingin serba
cepat alias instan maka pinus dan akasia menjadi pohon penghijauan. Tanah kita
rusak, mereka cepat sekali bertumbuh tapi juga mengganas, memakan semua
tumbuhan lainnya. Sifatnya yang lapar membuat vegetasi lain terganggu, tidak
bisa tumbuh. Ooh sediiiih saya mendengar penjelasan dari bu Inen. Mengapa ini
terjadi yaa?.........benarlah adanya jangan suka adops semua yang dari luar,
karena belum tentu sesuai dengan kondisi lokal. Jadi semestinya bertahanlah
dengan vegetasi lokal. Karena itulah tempat mereka tumbuh. Hukum ini berlaku
pula dalam mencari pasangan..uppps#gagalpokus.
Waiiiiits ….tunggu..kenapa
farhan menangis sambil berlari-lari, Bundaaaaa aku lapaaar. Memecah keheningan.
Olaaaalaa ternyata farhan kelaparan, walaupun cemilan sudah disuplai untuk
farhan, tapi nasi harus kudu dan wajib. Duuh Farhan kamu jadi makin
menggemaskan aja. Dan mulai saat itu, teman-teman saya slalu berteriak dengan
gaya Farhan, Buleeek aku lapar. Buleeek aku ngantuuuk begitulah password temanku
saat ini. Sebelum makan siang, kang Dharmanto
orang penting di Kareumbi menjelaskan pula tentang TB Kareumbi ini. Ada sebuah
tips tentang menangani sampah yang bisa jadi ditinggalkan oleh pengunjung. Jadi
setiap pengunjung yang akan bermalam diwajibkan membayar uang kebersihan
Rp.500.000 yang akan dikembalikan jika saat mereka selesai dan harus dipastikan
sampah tidak ada. Kereeen nih caranya, terbayang gunung yang sering menjadi
tempat sampah para pendaki. Mengaku mencintai alam tapi hmmm….tidak ramah sama
sekali terhadap alam. Acara makan siang siap, wow….ada ikan mas goreng dan sambel
tomat. Dengan kondisi lapar santapan menjadi cepat sekali tandas. Nasi liwet yang nikmat dimakan di tengah hutan.
Pak Djuandi mengingatkan juga tentang
fungsi tanaman yang bisa saja menjadi berbeda saat digunakan oleh suatu
ras/suku bangsa karena berhubungan dengan makanan yang dikonsumsinya. Lanjut berjalan
bertemu dengan daun poh-pohan, beluntas dan akhirnya menepi mencari kareumbi.
Seperti apa kereumbi itu??...tetiba pak djuandi memegang pohon yang sedari tadi
ada dihadapan kita. Ternyata pohon itu ada depan kita berdahan merah. Belum
terlalu tinggi. Waah, wajah pak Djuandi saat itu terlihat riang sekali,
berhasil membuat kami pesertanya berlelah mencari Kareumbi. Ternyata pohonnya
didekat kita.
Waaaah senangnya ada rujak buah dan
bakwan yang baru saja diangkat dari penggorengan. Ubi rebus pun ada. Teteh
panitia Geotrek mengerti benar kita ingin makan rujak hahaha. Saat kita sampai
di perkemahan. Istirahat sejenak, ikutan masuk antrian depan kamar mandi yang
letaknya tidak jauh dari rumah pohon kami. Ohyaaa..kami menginap di rumah pohon
yang berlantai dua. Menyenangkan sekali, nah kaum adamnya dikelompokan dalam
satu tenda, Bersiap untuk makan lama, api unggun sudah menyala. Makan malamnya
istimewa karena menunya tumpeng. Yaa…acara geotrek kali ini sekaligus
peringatan ulang tahun Mata Bumi yang ke-5. Potong tumpeng didekat api unggun,
lanjut makan bersama.
Dan kami memilih makan bersama dalam satu tampah. Nasi
kuning lengkap dengan tempe oreg dan telur. Diterangi cahaya purnama kami
menghabiskan malam dengan aneka permainan. Konsentrasi ayo konsentrasi hahaha.
Tertawalah kami saat salah seorang peserta bernomer 10 tak pernah muncul,
apakah ini nomer jadi-jadian?....olala ternyata ada tapi sedang ke toilet. Dan toiletny
jaaaauh ke sumedang hahaha. Kang Sandi namanya. Lanjut dengan permainan oleh
kang Deny….wah bagi-bagi hadiah juga. Malam itu diujung permainan, saya dan uda
berhasil membawa pulang satu kaos. Sedangkan agung dinobatkan sebagai om dumang
karena persembahannya bergaya dumang hahaha. Merapatkan diri dalam kantong
tidur, sebenarnya masih ingin bertukar cerita namun karena perjalanan dari
Cilegon yang melelahkan kami akhirnya merapatkan diri untuk tidur. Indaaaah
sekali malam itu. Bulan bulat bersinar penuh dengan cahaya keemasan menjadi
penerang malam itu, belum lagi ujung-ujung pinus yang menjulang menjadi atap
kami. Pagiiiiii kami dikejutkan dengan suara Farhan…………..Bundaaaaa aku dingin.
Pecahlah kesunyian pagi itu.
Berolah raga sejenak, bermain melepas
penat, tertawa lepas memainkan game seru dari panitia. Menikmati pagi di
Kareumbi, menikmati tubuh ini ini bermandi cahaya pagi yang benar-benar cerah.
Masih banyak yang bermalasan di tenda, ataupun bergoyang di hammock. Sungguh
indah semburat cahaya menembus daun pinus. Malas mandi tapi harus mandi,
Segaaaar pada akhirnya. Berlanjut dengan
materi yang tertunda. Kami belajar membaca kompas, membaca peta.
Om dumang belajar kompas |
Acara hampir selesai….berkemas dan kami lanjut ke penangkaran rusa. Eeh
ada tomat, ternyata hamparan kebun tomat pun tak jauh dari situ. Tomatnya enak
banget, dagingnya tebal, kang ….satu dus deh. Pinta saya pada salah seorang
akang yang sedang memilah tomat. Senangnya berada diantara para petani tomat. Mampir
sebentar ke tempat rusa, sayang rusanya belum banyak, hanya ada beberapa ekor,
saya lebih banyak berbincang dengan petani tomat. Selagi berbincang datang lagi
tomat 2 keranjang besar. Waah senangnya. Usai sudah, kami bersiap kembali
masuk
truk yang akan membawa kami ke Kota Bandung, menuju awal kita berkumpul. Museum
Geologi.
Perjalanan kemarin melahirkan banyak inspirasi bagi saya. Bergabung
dengan kurang lebih 55 peserta dari jabodetabek dan Bandung tentunya, dengan
team perjalanan yang hebat. Salut untuk Pak TeBe yang memiliki ide cemerlang
ini, membuat piknik tidak sekedar piknik, namun belajar dengan mengasyikan,
mencintai alam dan menumbuhkan rasa bangga bahwa alam kita begitu mempesona mata
terlebih jika kita mengetahui sejarahnya, mengetahui proses terjadinya, maka
kecintaan kita terhadap bangsa ini seharusnya lebih dan lebih. Wajahnya selalu ceria, dan humoris, ilmunya
dibagikan dengan rasa cinta dan penuh ketulusan. Tidak hanya itu saya juga belajar
tentang peran penting orang tua terhadap putra-putrinya menumbuhkan rasa cinta
terhadap alam dengan cara yang menyenangkan. Belajar mandiri, belajar
berinteraksi dengan orang lain, sedari kecil.
Farhan dan Fakhri |
Cerita masih berlanjut karena setelah
mendarat dengan selamat di Museum Geologi, kami pasukan ^KurangPiknik^
melanjutkan ekspedisi ke kota. Nanti berlanjut yaaa dengan tragedi meja 22 hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar