Rabu, 11 Mei 2016

# AADB ( Ada Apa di Banten Lama )

Libur panjang  telah tiba, sebagian besar teman merayakannya dengan berlibur keluar kota, keluar pulau, atau pun menjelajah negara  lain. Saya tak merencanakan apa pun dalam liburan panjang kali ini. Berniat untuk merapikan rumah yang lama tak di sentuh, rumput yang tinggi serta beberapa tanaman di pot yang sudah minta diganti.  Selesai mengerjakan itu semua dibantu oleh tetangga , sambil berbincang menceritakan cucunya yang mulai belajar mengoceh. Senang setelah melihat beberapa bagian di halaman mulai bersih. Dan tiba-tiba seorang teman yang bertemu saat melaut bareng menyatakan ingin ke Banten, mengunjungi vihara di sana. Okeh, siaap. Saya mengiyakan ajakannya karena saya pun sudah lupa bahkan tak ingat lagi suasananya , sudah sangat lama sekali. Saat baju seragam masih putih merah.

Awan menjadi gelap, mengubah suasana pagi yang indah. Teman disana sedang bersusah payah di dalam bis yang sesak. Tak ada kursi baginya, kabar dia lewat WhatsApp. Berharap reda ketika jam menunjukkan angka 10. Yeaaaay, alhmdlh reda, dan langsung menggas motor tuk menjemputnya. Perjalanan dimulai dari sebuah warung makan. Perut yang belum diisi sedari pagi sudah meminta haknya. Baiklah mari kita mulai.

1. Warung Makan Nasi Gonjleng
Kami memulainya dari sini, mengenal Banten. Menu nasi khas berbumbu mirip dengan nasi kebuli namun tidak terlalu tajam aroma rempahnya. Ditaburi potongan daging berbumbu yang disebut dengan rabeg, acar timun, dan oseng cumi asin. Hmmmm yummmmy. Dilengkapi dengan sate maranggi. Membuat menu sarapan terasa lengkap dan mengenyangkan. Dibandrol dengan harga 18 ribu untuk 1 porsi nasi gonjleng. Warung makan ini terletak agak menjorok di belakang rumah dinas walikota Cilegon. Sebenarnya ada menu lain yaitu ayam bekakak, namun saya memilih daging untuk kali ini. Di sini ada masakan khas Banten juga seperti oseng kulit melinjo dan otot bumbu cabe

2. Masjid Pacinan Tinggi
Ini adalah situs pertama yang kami dokumentasikan, sebenarnya saat menyusuri jalan dari arah Kramat Watu, ada sebuah situs atau cagar budaya juga yaitu Danau Tasikardi, namun kami tak memasukinya hanya melihat sepintas saja. Banyak anak-anak bermain bebek air mengelilingi danau. Desa yang kami jumpai adalah Desa Pamengkang, dimana bangunan bujur sangkar ini berdiri. Berpagar untuk melindunginya namun tetap rumput tinggi tumbuh dengan suburnya. Sesuai dengan namanya, Pacinan maka kampong ini adalah tempat bermukimnya orang cina saat kejayaan Kesultanan Banten sekitar abad 15. Ini adalah sebuah menara yang tak utuh lagi, dibagian belakangnya ada mihrab yang juga mulai runtuh. 
Di sisi yang lain, terdapat makam yang nisannya cukup besar, namun tertutup oleh hijaunya rumput yang cukup tinggi. Rasa miris bertambah ketika menyaksikan tumpukan sampah yang cukup tinggi di sekitar cagar budaya ini. Entahlah, tak habis mengerti, sebuah tempat yang cukup punya nilai sejarah dibiarkan begitu saja.

3. Vihara Avelokitesvera
Perjalanan dilanjutkan melewati rel kereta api, tak jauh dari sana berdiri dengan megahnya Vihara Avelokitesvera  atau Vihara Tri Darma. Dibangun di abad 16 dan masih sangat terawat, senang melihat tempat ini digunakan sebagai tempat ibadah. Nampak beberapa anak kecil sedang melakukan ibadah bersama orang tuanya. Mengenalkan keberadaan Tuhan sejak kecil itu akan menjadikannya takut untuk berbuat murka.  


Warna merah tentu mendominasi, serta dua buah patung naga, simbol vihara ini berada di pintu masuk. Meski kami beragama lain, kami diizinkan untuk berkeliling vihara, namun tak diizinkan memasuki altar peribadahan. Sangat luas, ada balai pengobatan juga di sisi kiri bangunan. Di bagian belakang ada rumah ibadah pula, digunakan oleh agama Budha. Oya dibagian atas pintu masuk ada tulisan yang mencirikan bahwa vihara ini di jaga oleh Dewi Kwam Im Pho Sat. Letaknya yang tak jauh dari Menara Masjid Pacinan serta masih satu kompleks dengan Masjid Agung Banten, menandakan bahwa keharmonisan beragama terjadi berabad lalu. Damai antara satu dan lainnya. Oya, tak lupa kami menikmati air kelapa muda yang murni dan segar sangat di halaman vihara ini.

4. Benteng Speelwijk





Letaknya persis di seberang vihara, dengan luas 4 hektar. Hamparan rumput menghiasi benteng ini, tak salah jika banyak yang menggembalakan kambing disini.Tanah yang basah membuat anak-anak tak bermain bola meski ada tiang dan gawang yang sudah terpasang disini.  Tersenyum melihat ini semua. Saat kami kebingungan untuk bertanya banyak hal, alhmdh bertemu dengan Bpk. Sambudi penggembala kambing sekaligus penjaga Benteng Speelwijk. Benteng ini terdiri dari dua lantai, tembok yang kokoh terikat dari campuran batu bata, batu karang, serta fosil. Tak ada semen tentunya di jaman itu.  Benteng ini tak memiliki tanda pengenal atau papan informasi. Cukup lama kami berada disini, masuk ke ruang bawah tanah, melihat penjara jaman Belanda. Sinar matahari masuk melalui beberapa celah benteng yang rusak, sehingga udara tak begitu lembab meski kami berada di bagian bawah benteng. Pemandangannya begitu indah, apalagi jika dilihat dari lantai dua benteng. Nyiur  berderet berteman dengan pohon besar lainnya. Menara pengintai masih cukup bagus
kondisinya, namun lagi-lagi manusia berpikir dangkal mencoret dengan pilox, cat dan sebagainya. Benar-benar mengesalkan.

5. Pemakaman Belanda ( Kerkoff )

Rumput tinggi berada diantara makam, Pak Sambudi menemani kami di pemakaman ini. Sambil menyiangi rumput yang tumbuh persis di makam yang paling besar. Tulisan di batu nisannya masih cukup jelas terbaca, Hugo Pieter Faure, wafat 1763. 
Siapakah Tuan Hugo ini? Saya pun mencoba mencari tahu, ternyata Tuan Hugo ini adalah panglima perang pada saat itu. Informasi lain tentang pemakaman ini tidak ada. Papan informasi pun tidak terpasang. Pemakaman ini merupakan cagar budaya yang masih satu kompleks dengan kawasan Banten Lama.

6. Mesjid Agung Banten
Menara Masjid Banten di ambil oleh KaTina
Untuk mencapai mesjid yang dibangun saat jaman kejayaan Sultan Maulana Hasanudin, kami dipaksa untuk berputar-putar melewati jalan yang sempit dan becek. Kami tidak mengetahui ada jalan lain yang cukup besar dan lebih nyaman. Tapi tak apa, kami cukup menikmatinya ketika harus berjalan perlahan dan melewati puluhan pedagang yang menjajakan buah sawo, buah khas di sekitaran Banten selain itu telor asin serta asem keranji. Ada yang pernah menikmati buah ini?, buah dengan warna orange pada bagian dagingnya serta memiliki tekstur seperti bedak. Rasanya asem dan ada rasa manisnya.
Sesampainya disana, saya bergegas untuk tunaikan sholat ashar dan masuk kedalam bagian masjid. Tiang-tiang nan kokoh berdiri tegak menopang masjid ini. Hari itu banyak sekali peziarah yang akan memasuki pemakaman Sultan Maulana Hasanudin dan keluarganya, karena menjelang malam Jum’at, terlebih dalam bulan-bulan istimewa seperti ini. Kehadiran menara setinggi 24 meter di halaman masjid membuat semakin mempesona. Sayang, saya membatalkan untuk naik ke ketinggian menara karena hari mulai sore dan masih panjang antriannya. Masih banyak yang saya harus singgahi. Kaki melangkah ke arah Museum Banten yang letaknya tak jauh dari dari pelataran masjid.

7. Museum Banten

Yaaaaah, ternyata museumnya tutup. Hari libur tidak dibuka. Beberapa pengunjung pun sama kecewanya. Saya hanya dapat melihat sisi luar museum dimana di simpan Meriam Ki Amuk, sebuah meriam yang beratnya mencapai 7 ton, serta peninggalan kaum pecinan berupa nisan- nisan.  Informasi tentang benda bersejarah ini ditulis sederhana saja, tidak dilindungi dengan kaca akrilik atau sejenisnya. Bingkai hitam terbuat dari lakban, hmmmm…….sesuatu yaa. Mencoba mendekati pos informasi namun leaflet dan sejenisnya pun tak ada. Beruntung saya bertemu dengan Bpk. Nahrowi, seorang pemandu senior yang memberikan saran tempat yang dapat kami kunjungi di sekitaran masjid yaitu Keraton Surosowan.

8. Keraton Surosowan
Tiket masuk tanpa bukti sebesar 5000 rupiah menjadi awal untuk memasuki area Keraton Surosowan. Pintu gerbang dibuka. Arah menuju pintu gerbang adalah melewati beberapa penjual serta jalanan yang cukup becek karena hujan pagi tadi. Waaaau, sebuah pemandangan yang cukup indah dapat dinikmati di area cagar budaya ini, meski sebagian besar hanya tinggal tumpukan batu bata saja. Dengan luas kurang lebih 4 hektar keraton ini merupakan tempat tinggal sekaligus kantor pemerintahan Kerajaan Banten berabad yang lampau. Pos penjaga, sumur serta beberapa kolam pemandian masih baik bentuknya, namun kotor. Lumut yang berada di dalam kolam tidak mengurangi keceriaan anak-anak untuk mandi. 
Air yang berasal dari pancuran ternyata adalah air yang dialirkan dari  Danau Tasikardi. Masih mengalir lewat pancuran. Ada tiga pancuran di sini yaitu Pengindelan Abang, Putih dan terakhir Pengindelan Emas.
Arti pengindelan adalah penyaringan. Jadi air yang jatuh ke kolam dan digunakan oleh putrid keraton merupakan air yang sudah cukup bersih. Mengagumkan ya, proses penjernihan airnya. Saya berkeliling dari mulai pos penjaga, naik ke bagian atas dan melihat sekeliling dari sana. Kejayaan masa lampau terlihat dan terasa sekali, tidak heran jika tempat ini banyak pula digunakan untuk bersemedi.  Jika di Benteng Speelwijk banyak coretan di dindingnya maka di sini yang terlihat adalah sampah plastik, mungkin dari pengunjung yang tidak menyadari arti bersih dari sampah. 

9. Watu Gilang
Batu ini terletak persis di dekat pintu masuk keraton. Tempat para pejabat keraton diambil sumpahnya. Miris melihat situs ini, dipagar besi namun tidak terlihat sama sekali jika ini adalah sebuah cagar budaya, karena kiri kanannya penuh dengan penjual dari mulai gorengan, cendol, makanan dan lain-lain. Sejarah yang dilupakan

10. Pengindelan Abang

Situs ini kami jumpai saat perjalanan pulang. Terletak di kiri jalan. Ini adalah bangunan yang dimaksud sebagai penjernihan air. Masih berfungsi dengan baik, mengalirkan air dari Danau Tasikardi ke kolam Ratu Dhenok yang berada di Keraton Surosowan, dengan jarak kurang lebih 2 km. 

Takjub saya dibuatnya. Sebuah pemikiran yang canggih di masa lalu mengenai proses penjernihan air.

Hampir magrib, kami belum mengunjungi Keraton Kaibon, mungkin lain waktu kami akan susuri kembali sekaligus naik ke menara untuk memandang Laut Jawa dari sana. Bergegas keluar dari area kompleks Banten Lama, perut yang lapar sudah meminta haknya untuk diisi kembali, kali ini saya memilih sate bebek dan sopnya yang segar di daerah Cibeber. Warung makan sederhana namun selalu ramai, belum masuk cagar budaya sih heheheh, namun cukup melegenda.  Sate bebek H. Syafei. Sop satu mangkok plus 10 tusuk sate tandas dalam waktu yang tak lama. Menyenangkan hari ini, belajar sejarah dengan cara yang tidak biasa. Banten sebuah kejayaan masa lalu. Ada apa di Banten Lama?? Ternyata banyak cerita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar