Libur panjang telah tiba, sebagian besar teman merayakannya
dengan berlibur keluar kota, keluar pulau, atau pun menjelajah negara lain. Saya tak merencanakan apa pun dalam
liburan panjang kali ini. Berniat untuk merapikan rumah yang lama tak di
sentuh, rumput yang tinggi serta beberapa tanaman di pot yang sudah minta
diganti. Selesai mengerjakan itu semua
dibantu oleh tetangga , sambil berbincang menceritakan cucunya yang mulai belajar
mengoceh. Senang setelah melihat beberapa bagian di halaman mulai bersih. Dan
tiba-tiba seorang teman yang bertemu saat melaut bareng menyatakan ingin ke
Banten, mengunjungi vihara di sana. Okeh, siaap. Saya mengiyakan ajakannya
karena saya pun sudah lupa bahkan tak ingat lagi suasananya , sudah sangat
lama sekali. Saat baju seragam masih putih merah.
Awan menjadi gelap, mengubah suasana
pagi yang indah. Teman disana sedang bersusah payah di dalam bis yang sesak.
Tak ada kursi baginya, kabar dia lewat WhatsApp. Berharap reda ketika jam
menunjukkan angka 10. Yeaaaay, alhmdlh reda, dan langsung menggas motor tuk
menjemputnya. Perjalanan dimulai dari sebuah warung makan. Perut yang belum
diisi sedari pagi sudah meminta haknya. Baiklah mari kita mulai.
1. Warung Makan Nasi Gonjleng
Kami memulainya dari sini, mengenal Banten.
Menu nasi khas berbumbu mirip dengan nasi kebuli namun tidak terlalu tajam
aroma rempahnya. Ditaburi potongan daging berbumbu yang disebut dengan rabeg,
acar timun, dan oseng cumi asin. Hmmmm yummmmy. Dilengkapi dengan sate
maranggi. Membuat menu sarapan terasa lengkap dan mengenyangkan. Dibandrol
dengan harga 18 ribu untuk 1 porsi nasi gonjleng. Warung makan ini terletak
agak menjorok di belakang rumah dinas walikota Cilegon. Sebenarnya ada menu
lain yaitu ayam bekakak, namun saya memilih daging untuk kali ini. Di sini ada masakan khas Banten juga seperti oseng kulit melinjo dan otot bumbu cabe
2. Masjid Pacinan Tinggi
Ini adalah situs pertama yang kami
dokumentasikan, sebenarnya saat menyusuri jalan dari arah Kramat Watu, ada
sebuah situs atau cagar budaya juga yaitu Danau Tasikardi, namun kami tak
memasukinya hanya melihat sepintas saja. Banyak anak-anak bermain bebek air
mengelilingi danau. Desa yang kami jumpai adalah Desa Pamengkang, dimana
bangunan bujur sangkar ini berdiri. Berpagar untuk melindunginya namun tetap
rumput tinggi tumbuh dengan suburnya. Sesuai dengan namanya, Pacinan maka kampong
ini adalah tempat bermukimnya orang cina saat kejayaan Kesultanan Banten
sekitar abad 15. Ini adalah sebuah menara yang tak utuh lagi, dibagian
belakangnya ada mihrab yang juga mulai runtuh.
Di sisi yang lain, terdapat
makam yang nisannya cukup besar, namun tertutup oleh hijaunya rumput yang cukup
tinggi. Rasa miris bertambah ketika menyaksikan tumpukan sampah yang cukup
tinggi di sekitar cagar budaya ini. Entahlah, tak habis mengerti, sebuah tempat
yang cukup punya nilai sejarah dibiarkan begitu saja.
3. Vihara Avelokitesvera
Perjalanan dilanjutkan melewati rel
kereta api, tak jauh dari sana berdiri dengan megahnya Vihara
Avelokitesvera atau Vihara Tri Darma.
Dibangun di abad 16 dan masih sangat terawat, senang melihat tempat ini digunakan
sebagai tempat ibadah. Nampak beberapa anak kecil sedang melakukan ibadah
bersama orang tuanya. Mengenalkan keberadaan Tuhan sejak kecil itu akan
menjadikannya takut untuk berbuat murka.
Warna merah tentu mendominasi, serta dua buah
patung naga, simbol vihara ini berada di pintu masuk. Meski kami beragama lain,
kami diizinkan untuk berkeliling vihara, namun tak diizinkan memasuki altar
peribadahan. Sangat luas, ada balai pengobatan juga di sisi kiri bangunan. Di
bagian belakang ada rumah ibadah pula, digunakan oleh agama Budha. Oya dibagian
atas pintu masuk ada tulisan yang mencirikan bahwa vihara ini di jaga oleh Dewi
Kwam Im Pho Sat. Letaknya yang tak jauh dari Menara Masjid Pacinan serta masih
satu kompleks dengan Masjid Agung Banten, menandakan bahwa keharmonisan beragama
terjadi berabad lalu. Damai antara satu dan lainnya. Oya, tak lupa kami
menikmati air kelapa muda yang murni dan segar sangat di halaman vihara ini.
4. Benteng Speelwijk
Letaknya persis di seberang vihara,
dengan luas 4 hektar. Hamparan rumput menghiasi benteng ini, tak salah jika
banyak yang menggembalakan kambing disini.Tanah yang basah membuat anak-anak
tak bermain bola meski ada tiang dan gawang yang sudah terpasang disini. Tersenyum melihat ini semua. Saat kami
kebingungan untuk bertanya banyak hal, alhmdh bertemu dengan Bpk. Sambudi
penggembala kambing sekaligus penjaga Benteng Speelwijk. Benteng ini terdiri
dari dua lantai, tembok yang kokoh terikat dari campuran batu bata, batu
karang, serta fosil. Tak ada semen tentunya di jaman itu. Benteng ini tak memiliki tanda pengenal atau
papan informasi. Cukup lama kami berada disini, masuk ke ruang bawah tanah,
melihat penjara jaman Belanda. Sinar matahari masuk melalui beberapa celah
benteng yang rusak, sehingga udara tak begitu lembab meski kami berada di
bagian bawah benteng. Pemandangannya begitu indah, apalagi jika dilihat dari lantai
dua benteng. Nyiur berderet berteman
dengan pohon besar lainnya. Menara pengintai masih cukup bagus
kondisinya,
namun lagi-lagi manusia berpikir dangkal mencoret dengan pilox, cat dan
sebagainya. Benar-benar mengesalkan.
5. Pemakaman Belanda ( Kerkoff )
Rumput tinggi berada diantara makam,
Pak Sambudi menemani kami di pemakaman ini. Sambil menyiangi rumput yang tumbuh
persis di makam yang paling besar. Tulisan di batu nisannya masih cukup jelas
terbaca, Hugo Pieter Faure, wafat 1763.
Siapakah Tuan Hugo ini? Saya pun
mencoba mencari tahu, ternyata Tuan Hugo ini adalah panglima perang pada saat
itu. Informasi lain tentang pemakaman ini tidak ada. Papan informasi pun tidak
terpasang. Pemakaman ini merupakan cagar budaya yang masih satu kompleks dengan
kawasan Banten Lama.
6. Mesjid Agung Banten
Menara Masjid Banten di ambil oleh KaTina |
Untuk mencapai mesjid yang dibangun
saat jaman kejayaan Sultan Maulana Hasanudin, kami dipaksa untuk berputar-putar
melewati jalan yang sempit dan becek. Kami tidak mengetahui ada jalan lain yang
cukup besar dan lebih nyaman. Tapi tak apa, kami cukup menikmatinya ketika
harus berjalan perlahan dan melewati puluhan pedagang yang menjajakan buah
sawo, buah khas di sekitaran Banten selain itu telor asin serta asem keranji.
Ada yang pernah menikmati buah ini?, buah dengan warna orange pada bagian
dagingnya serta memiliki tekstur seperti bedak. Rasanya asem dan ada rasa
manisnya.
Sesampainya disana, saya bergegas
untuk tunaikan sholat ashar dan masuk kedalam bagian masjid. Tiang-tiang nan
kokoh berdiri tegak menopang masjid ini. Hari itu banyak sekali peziarah yang
akan memasuki pemakaman Sultan Maulana Hasanudin dan keluarganya, karena
menjelang malam Jum’at, terlebih dalam bulan-bulan istimewa seperti ini. Kehadiran
menara setinggi 24 meter di halaman masjid membuat semakin mempesona. Sayang,
saya membatalkan untuk naik ke ketinggian menara karena hari mulai sore dan
masih panjang antriannya. Masih banyak yang saya harus singgahi. Kaki melangkah
ke arah Museum Banten yang letaknya tak jauh dari dari pelataran masjid.
7. Museum Banten
Yaaaaah, ternyata museumnya tutup. Hari
libur tidak dibuka. Beberapa pengunjung pun sama kecewanya. Saya hanya dapat
melihat sisi luar museum dimana di simpan Meriam Ki Amuk, sebuah meriam yang
beratnya mencapai 7 ton, serta peninggalan kaum pecinan berupa nisan-
nisan. Informasi tentang benda
bersejarah ini ditulis sederhana saja, tidak dilindungi dengan kaca akrilik
atau sejenisnya. Bingkai hitam terbuat dari lakban, hmmmm…….sesuatu yaa.
Mencoba mendekati pos informasi namun leaflet dan sejenisnya pun tak ada.
Beruntung saya bertemu dengan Bpk. Nahrowi, seorang pemandu senior yang
memberikan saran tempat yang dapat kami kunjungi di sekitaran masjid yaitu
Keraton Surosowan.
8. Keraton Surosowan
Tiket masuk tanpa bukti sebesar 5000
rupiah menjadi awal untuk memasuki area Keraton Surosowan. Pintu gerbang
dibuka. Arah menuju pintu gerbang adalah melewati beberapa penjual serta
jalanan yang cukup becek karena hujan pagi tadi. Waaaau, sebuah pemandangan
yang cukup indah dapat dinikmati di area cagar budaya ini, meski sebagian besar
hanya tinggal tumpukan batu bata saja. Dengan luas kurang lebih 4 hektar keraton
ini merupakan tempat tinggal sekaligus kantor pemerintahan Kerajaan Banten
berabad yang lampau. Pos penjaga, sumur serta beberapa kolam pemandian masih
baik bentuknya, namun kotor. Lumut yang berada di dalam kolam tidak mengurangi
keceriaan anak-anak untuk mandi.
Air yang berasal dari pancuran ternyata adalah
air yang dialirkan dari Danau Tasikardi.
Masih mengalir lewat pancuran. Ada tiga pancuran di sini yaitu Pengindelan
Abang, Putih dan terakhir Pengindelan Emas.
Arti pengindelan adalah penyaringan. Jadi
air yang jatuh ke kolam dan digunakan oleh putrid keraton merupakan air yang
sudah cukup bersih. Mengagumkan ya, proses penjernihan airnya. Saya berkeliling
dari mulai pos penjaga, naik ke bagian atas dan melihat sekeliling dari sana.
Kejayaan masa lampau terlihat dan terasa sekali, tidak heran jika tempat ini
banyak pula digunakan untuk bersemedi. Jika
di Benteng Speelwijk banyak coretan di dindingnya maka di sini yang terlihat
adalah sampah plastik, mungkin dari pengunjung yang tidak menyadari arti bersih
dari sampah.
9. Watu Gilang
Batu ini terletak persis di dekat
pintu masuk keraton. Tempat para pejabat keraton diambil sumpahnya. Miris
melihat situs ini, dipagar besi namun tidak terlihat sama sekali jika ini
adalah sebuah cagar budaya, karena kiri kanannya penuh dengan penjual dari
mulai gorengan, cendol, makanan dan lain-lain. Sejarah yang dilupakan
10. Pengindelan Abang
Situs ini kami jumpai saat perjalanan
pulang. Terletak di kiri jalan. Ini adalah bangunan yang dimaksud sebagai
penjernihan air. Masih berfungsi dengan baik, mengalirkan air dari Danau
Tasikardi ke kolam Ratu Dhenok yang berada di Keraton Surosowan, dengan jarak
kurang lebih 2 km.
Takjub saya dibuatnya. Sebuah pemikiran yang canggih di masa
lalu mengenai proses penjernihan air.
Hampir magrib, kami belum mengunjungi
Keraton Kaibon, mungkin lain waktu kami akan susuri kembali sekaligus naik ke
menara untuk memandang Laut Jawa dari sana. Bergegas keluar dari area kompleks
Banten Lama, perut yang lapar sudah meminta haknya untuk diisi kembali, kali
ini saya memilih sate bebek dan sopnya yang segar di daerah Cibeber. Warung
makan sederhana namun selalu ramai, belum masuk cagar budaya sih heheheh, namun
cukup melegenda. Sate bebek H. Syafei. Sop
satu mangkok plus 10 tusuk sate tandas dalam waktu yang tak lama. Menyenangkan
hari ini, belajar sejarah dengan cara yang tidak biasa. Banten sebuah kejayaan
masa lalu. Ada apa di Banten Lama?? Ternyata banyak cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar