Kita akan mengingat waktu dengan baik, jika pada waktu tersebut
ada sebuah kejadian yang special bagi hidup kita. Spesial karena terlalu sedih,
penuh tawa, ataupun ada detail-detail yang tak mungkin hilang begitu saja dari
benak.
Begitu pula dengan tanggal ini, 04 Juni
delapan tahun yang lalu. Saat semuanya berubah, saat semuanya berganti, saat
semuanya menjadi seperti hilang.
Senin pagi, subuh menjelang. Emak panggilan
kami terhadap seorang perempuan yang begitu kuat dan istimewa bagi kami merasakan
menggigil, kupegang dahinya demam, begitu pula lengan dan lehernya. Kakak
sulung yang senantiasa menemani emak,
bertanya. Mo dikasih obat apa?.., aku segera mengambilkan Dumin tablet dan
membantunya meminum obat tersebut. Setelah itu, yang dirasakan oleh beliau adalah menggigil. Aaah…aku bodoh tidak dapat
menangkap sinyal dari tubuh beliau. Jam 6 pagi beliau masih berbicara
menanyakan kakak yang hendak bekerja ke Jakarta. Apakah sudah siap?...Berangkatlah
setelah berpamitan.
Pukul 08 pagi emak ternyata sudah tidak berbicara,
pandangan matanya hanya menatap pintu yang terletak di hadapannya, seakan-akan
sedang menatap seseorang disana. Lalu airmatanya jatuh dari ujung matanya.
Terbata menanyakan adik bungsu yang baru saja sampai ditempat tugasnya.
Pemalang. Hari itu senin dan kami semua bersiap kembali bekerja setelah hari
sabtu minggu berkumpul semua. Melihat
kondisinya yang hanya menggeleng dan menatap, maka kami bertanya, Emak ingin
ketemu dede lagi? Dan beliau mengangguk. Tak terasa air mata kami menderas
menatap wajah dan tubuh kurusnya. Beliau berbaring kurang lebih empat bulan
setelah sel-sel jahat itu bermetastase ke tulang dan hampir semua organ
lainnya. Panggilan telepon segera kepada kakak yang masih di jalan tol menuju Jakarta,
untuk segera kembali ke rumah. Lalu panggilan kepada adik bungsu yang saat itu
baru sampai di desa. Untuk segera kembali. Suasana panik dan tangis terdengar
di telepon.
Dengan dibantu ibu kostnya,
adik berusaha mencari tiket ke Jakarta, dengan bus lalu dengan kereta. Lelah
semalam perjalanan hilanglah sudah, bergegas pulang kembali ke Cilegon dengan
jarak tempuh 10 jam-an. Sms saya
kirimkan kepada atasan dimana saya bekerja untuk meminta izin tidak masuk
kerja. Maka dari pagi itu kami berkumpul, menatap wajahnya, dan ditemani alunan
ayat suci Al-Quran dari kami anak-anaknya. Menjelang dhuhur, kakak laki-laki
sampai dirumah. Kondisi sudah berubah. Emak hanya diam, tak ada lagi suara dari
beliau. Telepon bordering kembali, adik mengabarkan sudah sampai di Gambir.
Alhmdlh perjalanan dipercepat oleh Allah.
Entah….seperti ingin mengetahui
keberadaan putri bungsunya, air mata itu mengalir lagi. Lalu kami hanya
bilang, Emak mau nunggu adik ya?....dan linangan air mata itu terus berjatuhan.
Dan lagi-lagi pandangan matanya tak lepas dari pintu tersebut.
Saat jarum jam
hampir menunjukkan pukul 4 sore adik datang, pecahlah tangis kami, diciuminya
emak kami yang hanya menatap kosong. Lalu tubuhnya mulai dingin, tidak ada lagi
tatapan matanya ke pintu tersebut. Hanya dalam hitungan menit, mata beliau
tertutup pergi dengan tenangnya. Suhu tubuhnya berubah, perlahan dingin sekali.
Entah apa yang terjadi selanjutnya karena kakak dan adik tak sadarkan
diri. 21 tahun beliau membesarkan dan
mendidik kami dengan kedua tangannya, karena ayah telah meninggalkan kami
terdahulu. Lima orang anak dibesarkan dengan kerja kerasnya. Saat semua sudah
selesai dengan pendidikan dan diterima bekerja, beliau mengatakan (saat kondisi
badannya mulai menurun) bahwa tugas emak sudah selesai yaa.
Maka malam itu bada isya, beliau sudah
berbaring ditempat yang lain tidak lagi dirumah hijau. Rumah yang selalu
dirawatnya dengan dua pohon mangganya yang besar dan menjadi cirri rumah kami,
bunga serta tanaman-tanaman di pot yang membuat rumah kami asri. Lantai yang
berwarna hijau, yang menurut beliau, hijau itu membuat hati adem. Dan sejak
malam itu kami belajar lebih mandiri, lebih
disiplin terhadap hidup kami. Tidak ada lagi yang mengingatkan kami.
Maka hari ini tepat 8 tahun beliau pergi, saya
mengabarkan bahwa rumah hijau ini tetaplah menjadi rumah kami semua. Maaaaaaf
sangat…, jika tidak sehijau dulu, beberapa pot sudah berganti, tapi kami
mencoba menggantinya dengan tanaman lain. kuping gajahnya sudah tidak ada.
Maaaf jika catnya mulai kusam, tapi kami
selalu mencoba menjaga kebersihannya. Maaaf jika pohon mangganya sudah ditebang
karena angin besar membuat kami khawatir jika tumbang. Tetangga, penjual krupuk, penjual ikan, penjual
sayur semua merasa kehilangan, tapi mereka ikut menjaga kami. Sepiiii karena tidak ada lagi suaramu. Tidak ada
lagi obrolan sore dengan anak-anak kost yang semuanya memanggil emak.
Tapi setiap liburan, rumah hijau rame…..sekarang
ada 7 cucu yang selalu berebut tidur dikamar nenek dan bilang semoga rumah
nenek di surga adalah rumah yang besar, hijau, ada pohon mangganya. Walapun adik-adik
kecil ini hanya melihat foto dan mendengar cerita tentang semua kebaikan nenek,
namun mereka semua selalu bilang ini rumah nenek, ini punya nenek, dan bertanya
nenek senang masak apa?...kangen masakan nenek..dan selalu berdoa untuk nenek. Cucu nenek yang paling besar sudah bekerja, yang paling kecil alhamdulilah kemarin sudah bisa berlari.
Untaian doa dalam tiap usai sholat dan dalam
kesempatan apapun kami hadiahkan untuk emak dan bapak di sana. Terimakasih untuk
semua kasih, dan sayang yang pasti tak bisa terbalas. Perjuangan yang berat
karena membesarkan kami seorang diri. Dan perjuangan melawan penyakit itu,
dengan semangat yang membuat dokterpun takjub. Namun semua berhenti di senin
sore 04 Juni delapan tahun yang lalu. Yakini bahwa ini adalah yang terbaik.
Kami sangat bangga kepadamu, dan surga adalah tempat mu. Insyaallah. Berilah kelapangan
kubur dan cahaya-Mu ya Rabb.
Banyak yang aku kangenin malam ini darimu,
tapi mataku sudah penuh dan sembab mengingatmu. Kangen akan semuanya. ….Al-fatihah….