Kamis, 04 Juni 2015

Delapan tahun yang Lalu#NulisRandom2015

Kita akan mengingat  waktu dengan baik, jika pada waktu tersebut ada sebuah kejadian yang special bagi hidup kita. Spesial karena terlalu sedih, penuh tawa, ataupun ada detail-detail yang tak mungkin hilang begitu saja dari benak.

Begitu pula dengan tanggal ini, 04 Juni delapan tahun yang lalu. Saat semuanya berubah, saat semuanya berganti, saat semuanya menjadi seperti hilang.

Senin pagi, subuh menjelang. Emak panggilan kami terhadap seorang perempuan yang begitu kuat dan istimewa bagi kami merasakan menggigil, kupegang dahinya demam, begitu pula lengan dan lehernya. Kakak sulung yang senantiasa menemani  emak, bertanya. Mo dikasih obat apa?.., aku segera mengambilkan Dumin tablet dan membantunya meminum obat tersebut. Setelah itu, yang dirasakan oleh beliau  adalah menggigil. Aaah…aku bodoh tidak dapat menangkap sinyal dari tubuh beliau. Jam 6 pagi beliau masih berbicara menanyakan kakak yang hendak bekerja ke Jakarta. Apakah sudah siap?...Berangkatlah setelah berpamitan. 

Pukul 08 pagi emak ternyata sudah tidak berbicara, pandangan matanya hanya menatap pintu yang terletak di hadapannya, seakan-akan sedang menatap seseorang disana. Lalu airmatanya jatuh dari ujung matanya. Terbata menanyakan adik bungsu yang baru saja sampai ditempat tugasnya. Pemalang. Hari itu senin dan kami semua bersiap kembali bekerja setelah hari sabtu minggu berkumpul semua.  Melihat kondisinya yang hanya menggeleng dan menatap, maka kami bertanya, Emak ingin ketemu dede lagi? Dan beliau mengangguk. Tak terasa air mata kami menderas menatap wajah dan tubuh kurusnya. Beliau berbaring kurang lebih empat bulan setelah sel-sel jahat itu bermetastase ke tulang dan hampir semua organ lainnya. Panggilan telepon segera kepada kakak yang masih di jalan tol menuju Jakarta, untuk segera kembali ke rumah. Lalu panggilan kepada adik bungsu yang saat itu baru sampai di desa. Untuk segera kembali. Suasana panik dan tangis terdengar di telepon.  
Dengan dibantu ibu kostnya, adik berusaha mencari tiket ke Jakarta, dengan bus lalu dengan kereta. Lelah semalam perjalanan hilanglah sudah, bergegas pulang kembali ke Cilegon dengan jarak tempuh 10 jam-an.  Sms saya kirimkan kepada atasan dimana saya bekerja untuk meminta izin tidak masuk kerja. Maka dari pagi itu kami berkumpul, menatap wajahnya, dan ditemani alunan ayat suci Al-Quran dari kami anak-anaknya. Menjelang dhuhur, kakak laki-laki sampai dirumah. Kondisi sudah berubah. Emak hanya diam, tak ada lagi suara dari beliau. Telepon bordering kembali, adik mengabarkan sudah sampai di Gambir. Alhmdlh perjalanan dipercepat oleh Allah. 
Entah….seperti ingin mengetahui keberadaan putri bungsunya, air mata itu mengalir lagi. Lalu kami hanya bilang, Emak mau nunggu adik ya?....dan linangan air mata itu terus berjatuhan. Dan lagi-lagi pandangan matanya tak lepas dari pintu tersebut. 

Saat jarum jam hampir menunjukkan pukul 4 sore adik datang, pecahlah tangis kami, diciuminya emak kami yang hanya menatap kosong. Lalu tubuhnya mulai dingin, tidak ada lagi tatapan matanya ke pintu tersebut. Hanya dalam hitungan menit, mata beliau tertutup pergi dengan tenangnya. Suhu tubuhnya berubah, perlahan dingin sekali. Entah apa yang terjadi selanjutnya karena kakak dan adik tak sadarkan diri.  21 tahun beliau membesarkan dan mendidik kami dengan kedua tangannya, karena ayah telah meninggalkan kami terdahulu. Lima orang anak dibesarkan dengan kerja kerasnya. Saat semua sudah selesai dengan pendidikan dan diterima bekerja, beliau mengatakan (saat kondisi badannya mulai menurun) bahwa tugas emak sudah selesai yaa.
Maka malam itu bada isya, beliau sudah berbaring ditempat yang lain tidak lagi dirumah hijau. Rumah yang selalu dirawatnya dengan dua pohon mangganya yang besar dan menjadi cirri rumah kami, bunga serta tanaman-tanaman di pot yang membuat rumah kami asri. Lantai yang berwarna hijau, yang menurut beliau, hijau itu membuat hati adem. Dan sejak malam itu kami belajar lebih mandiri, lebih  disiplin terhadap hidup kami. Tidak ada lagi yang mengingatkan kami.

Maka hari ini tepat 8 tahun beliau pergi, saya mengabarkan bahwa rumah hijau ini tetaplah menjadi rumah kami semua. Maaaaaaf sangat…, jika tidak sehijau dulu, beberapa pot sudah berganti, tapi kami mencoba menggantinya dengan tanaman lain. kuping gajahnya sudah tidak ada.
Maaaf jika catnya mulai kusam, tapi kami selalu mencoba menjaga kebersihannya. Maaaf jika pohon mangganya sudah ditebang karena angin besar membuat kami khawatir jika tumbang.  Tetangga, penjual krupuk, penjual ikan, penjual sayur semua merasa kehilangan, tapi mereka ikut menjaga kami.  Sepiiii karena tidak ada lagi suaramu. Tidak ada lagi obrolan sore dengan anak-anak kost yang semuanya memanggil emak.

Tapi setiap liburan, rumah hijau rame…..sekarang ada 7 cucu yang selalu berebut tidur dikamar nenek dan bilang semoga rumah nenek di surga adalah rumah yang besar, hijau, ada pohon mangganya. Walapun adik-adik kecil ini hanya melihat foto dan mendengar cerita tentang semua kebaikan nenek, namun mereka semua selalu bilang ini rumah nenek, ini punya nenek, dan bertanya nenek senang masak apa?...kangen masakan nenek..dan selalu berdoa untuk nenek. Cucu nenek yang paling besar sudah bekerja, yang paling kecil alhamdulilah kemarin sudah bisa berlari.

Untaian doa dalam tiap usai sholat dan dalam kesempatan apapun kami hadiahkan untuk emak dan bapak di sana. Terimakasih untuk semua kasih, dan sayang yang pasti tak bisa terbalas. Perjuangan yang berat karena membesarkan kami seorang diri. Dan perjuangan melawan penyakit itu, dengan semangat yang membuat dokterpun takjub. Namun semua berhenti di senin sore 04 Juni delapan tahun yang lalu. Yakini bahwa ini adalah yang terbaik. Kami sangat bangga kepadamu, dan surga adalah tempat mu. Insyaallah. Berilah kelapangan kubur dan cahaya-Mu ya Rabb.

Banyak yang aku kangenin malam ini darimu, tapi mataku sudah penuh dan sembab mengingatmu. Kangen akan semuanya.     ….Al-fatihah….


1 komentar: