Rabu, 07 Oktober 2015

Merindu Bersama Surat Ke-55

Pagi ini saya terbangun saat ayam belum berteriak lantang, alarm di handphone belum berbunyi memanggil berulang-ulang, dan saat mesin pompa air belum mengeluarkan suara berisiknya. Tugas Hp di pagi hari adalah membangunkan saya dengan suara riuh.

Hujan sebentar, iya sebentar karena hanya beberapa menit menjelang saya tidur dan ternyata sudah berhenti sebelum mata ini terpejam dan lupa akan segalanya. Berdiam diri sebentar di ujung tempat tidur, lalu perlahan melipat selimut khas Bali dengan warna hijau hadiah dari kawan saat berlibur ke sana. Menyingkirkan guling menjauh dan hiyaaaaa….keluarkan jurus anti tiarap lalu segera meluncur ke ruang kecil di sebelah. Air kran mulai bekerja agar mata ini tidak terpejam lagi. Dingin sebentar saja. Kemarau panjang membuat cuaca dingin menjauh walau di pagi hari.


Sajadah merah pemberian seorang teman saat berhaji setahun yang lalu, serta mukena ungu hadiah dari adik saat lebaran kemarin, sudah terbentang. Waktu subuh belum tiba, dan saya kangen dengan surat favorit yang dikirimkan-Nya. Membuka perlahan kitab berwarna merah jambu yang saya beli saat pameran, warnanya menjadikan saya sedikit lebih 'wanita' dan langsung mencari halaman untuk surat ke-55. Entah mengapa pagi ini saya merindu sangat dengan isinya. 

Tuhan yang maha Pengasih, menciptakan saya dengan sebaik-baiknya bentuk, membuat manusia yang diciptakannya pandai berbicara, Dia membuat sebuah keseimbangan alam yang tidak boleh dirusak oleh kita.  Jadi teringat dengan asap tebal yang dirasakan oleh saudara kita di pulau sana, entahlah siapa yang salah yang jelas para penguasa hutan itu telah berbuat hal memalukan, dibalik wajah bersihnya, dibalik pakaian mewahnya mereka berbuat hina. Membakar hutan. 
Dia, sang Pencipta menjadikan alam ini begitu indahnya dengan segala isinya. Saat kapal-kapal berlayar di lautan maka akan tampak seperti gunung-gunung, indahnya surga, buah-buahan termasuk kurma dan delima ( apa keistimewaan delima yaa, sehingga disebutkan di sini ) diceritakan hingga ke kelopaknya.  Bidadari, sungai, permadani bahkan bantal yang indah dan hijau pun ada dalam surat penuh cinta ini.
Oh Tuhanku, nikmat Mu tiada tara. Tidak ada kuasa satu pun saya mendustakan semua nikmat yang telah Kau berikan. Pagi ini saya membacanya berulang-ulang, dan beristigfar bahwa saya terkadang jauh dengan ini semua. Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Jika pagi ini saya menjumpai pagi dalam keadaan sehat, kaki yang kemaren sakit sudah pulih seperti sedia kala, kepala yang pening sudah tak saya rasakan lagi, keluarga yang berbahagia, keponakan yang lucu dan cerdas dan teman-teman yang begitu menyayangi serta sahabat yang mengelilingi hidup saya.
Maafkan, dan berkahi pagi ini. Saya bangkit dan bertakbir atas nama-Mu. 

Di surat ke-55 ini saya sering merasa diingatkan akan semuanya, tentang sebuah nikmat yang sangat dahsyat secara berulang-ulang walaupun di banyak surat yang lain pun demikian. Tapi karena ada kisah maka ayat-ayat ini lebih terekam dalam alam pikiran saya.  Jatuh cinta dengan surat ini sejak kost di Jakarta tahun 90an, berkumandang hampir setiap subuh di mushola kecil yang tak jauh dari kostan, dan saya mencarinya lalu mengenalnya, mencoba lebih memahami setiap perkataan-Nya. Seperti pagi ini, menjadi obat saat merindu,

Bagaimana dengan kamu?.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar