Kamis, 12 Mei 2016

Geosmin, Petrichor, dan Lagu Rindu

Beberapa waktu lalu, sebagian dari kita menjumpai sebuah fenomena alam yang sangat jarang terjadi, mesti menunggu ratusan purnama untuk bertemu dengannya lagi, miriplah dengan kisah Cinta dan Rangga yang terpisah ratusan purnama heheh. Fenomena gerhana matahari total.  Entah apa penyebabnya saya merasa cuaca menjadi tidak menentu setelah peristiwa pertemuan tersebut, apakah telah terjadi sesuatu di alam semesta ini?, berharap tidak ada.  Kondisi terik matahari terkadang hilang begitu saja dengan guyuran air hujan secara tiba- tiba dan cukup deras. Atau pun sebaliknya, usai hujan matahari langsung muncul dan bersinar dengan sangat lucunya. Saya tidak dapat menyimpulkan musim hujankah atau musim kemarau saat ini. Mungkin ini adalah musim pertemuan sebelum dua musim ini akan berpisah.

Ternyata baru saja saya membaca tentang geosmin, senyawa khas usai hujan. Teringatlah  tentang hujan, tapi bukan tentang kenangan di genangan yang ditinggalkannya ya. Saya merindu dengan bau hujan, bau khas yang penuh ketenangan. Biasanya saya nikmati dengan mengendarai motor pelan-pelan dan menghirupnya perlahan. Lokasi yang saya tuju adalah kawasan hijau yang masih penuh dengan pohon dan rumput. Lalu apakah saya termasuk pecinta hujan, semacam pluviophile begitu, sepertinya agak sedikit heheh, saya senang ketika hujan berhenti lalu kedamaian mendesak masuk kedalam dada. Tenang. Itu mungkin kata yang pas untuk melukiskannya. Kamu pernah merasakannya?

Saat rinai hujan berhenti, bau khas tanah yang disebabkan olehnya apalagi bercampur dengan wangi rumput yang baru saja dipotong, itu amat menyegarkan. Bau khasnya membuat damai.  Zat kurkumin serta aneka minyak atsiri dan unsur-unsur aromatik dilepaskan saat rumput ini dipotong, pertanyaan selanjutnya darimana bau khas tanah usai hujan. Mari kita bercerita kembali.

Geosmin adalah senyawa yang berperan di sini. Menurut kamus kimia organik, geosmin adalah sebuah turunan dari dekahidrophtalen yang memiliki bau kuat bersahaja. Nah, kamus saja mengatakannya bersahaja memang begitulah yang saya rasakan. Dan zat ini dihasilkan oleh beberapa jenis bakteri yang hidup di tanah seperti cyanobacteria dan actinobacteria. Saat mikroba ini mati, geosmin dilepaskan kemudian saat selesai hujan maka geosmin terangkat ke udara dalam bentuk partikel aerosol, sangat kecil dalam bentuk mikro, tidak nampak namun terasa. 
Bakteri dengan bau khas ini menjadi penyebab beberapa ikan air tawar terkadang berbau seperti lumpur. Saya menjadi hilang selera ketika lele, atau ikan bandeng yang diolah ternyata berbau lumpur. Balik lagi ke hujan, selain geosmin adakah hal lain yang membuat suasana setelah hujan itu menyejukan jiwa?.  Tentu ada beberapa senyawa aromatik yang terlibat akibat reaksi ion dari air hujan yang bersifat asam saat menyentuh permukaan tanah. Istilah lain saat berbicara hujan adalah petrichor. Jika geosmin adalah senyawa kimianya, maka petrichor adalah bau yang timbul saat hujan membasahi tanah yang kering. Terbayangkan jika kita berada di lingkungan yang minim tanah maka kita bisa jadi tak merasakan petrichor dengan geosminnya yang membuat hati menjadi nyaman. 
Penasaran dengan istilah petrichor saya berselancar mencari tahu seluk beluk tentang petrichor. Ternyata jurnal ‘Nature of Argillaceous Odour” yang dipublikasikan tahun 1964 oleh Isabel Bear dan Thomas adalah jurnal yang mempopulerkan istilah petrichor. Bau khas hujan. Penelitian tentang bau hujan ini pun telah banyak dilakukan. Oya, petrichor ini akan terasa sekali saat rinai, tidak menderas.

Sstt di dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu. Begitu kata beberapa ahli.  Bagaimana alunan lagu itu? Entahlah…., belum ditemukan melodi lagu ini sepertinya, mungkin doremi…domisol..fasola…atau nada-nada lainnya. Penelitian ilmiahnya belum ada meski saya berusaha mencarinya hehehe. Tapi saya percaya. Coba saja menepi sejenak saat hujan, dan dengarkan lagunya. Apakah kamu pernah merasakannya juga?
Geosmin, Petrichor dan alunan lagu rindu. 








Rabu, 11 Mei 2016

# AADB ( Ada Apa di Banten Lama )

Libur panjang  telah tiba, sebagian besar teman merayakannya dengan berlibur keluar kota, keluar pulau, atau pun menjelajah negara  lain. Saya tak merencanakan apa pun dalam liburan panjang kali ini. Berniat untuk merapikan rumah yang lama tak di sentuh, rumput yang tinggi serta beberapa tanaman di pot yang sudah minta diganti.  Selesai mengerjakan itu semua dibantu oleh tetangga , sambil berbincang menceritakan cucunya yang mulai belajar mengoceh. Senang setelah melihat beberapa bagian di halaman mulai bersih. Dan tiba-tiba seorang teman yang bertemu saat melaut bareng menyatakan ingin ke Banten, mengunjungi vihara di sana. Okeh, siaap. Saya mengiyakan ajakannya karena saya pun sudah lupa bahkan tak ingat lagi suasananya , sudah sangat lama sekali. Saat baju seragam masih putih merah.

Awan menjadi gelap, mengubah suasana pagi yang indah. Teman disana sedang bersusah payah di dalam bis yang sesak. Tak ada kursi baginya, kabar dia lewat WhatsApp. Berharap reda ketika jam menunjukkan angka 10. Yeaaaay, alhmdlh reda, dan langsung menggas motor tuk menjemputnya. Perjalanan dimulai dari sebuah warung makan. Perut yang belum diisi sedari pagi sudah meminta haknya. Baiklah mari kita mulai.

1. Warung Makan Nasi Gonjleng
Kami memulainya dari sini, mengenal Banten. Menu nasi khas berbumbu mirip dengan nasi kebuli namun tidak terlalu tajam aroma rempahnya. Ditaburi potongan daging berbumbu yang disebut dengan rabeg, acar timun, dan oseng cumi asin. Hmmmm yummmmy. Dilengkapi dengan sate maranggi. Membuat menu sarapan terasa lengkap dan mengenyangkan. Dibandrol dengan harga 18 ribu untuk 1 porsi nasi gonjleng. Warung makan ini terletak agak menjorok di belakang rumah dinas walikota Cilegon. Sebenarnya ada menu lain yaitu ayam bekakak, namun saya memilih daging untuk kali ini. Di sini ada masakan khas Banten juga seperti oseng kulit melinjo dan otot bumbu cabe

2. Masjid Pacinan Tinggi
Ini adalah situs pertama yang kami dokumentasikan, sebenarnya saat menyusuri jalan dari arah Kramat Watu, ada sebuah situs atau cagar budaya juga yaitu Danau Tasikardi, namun kami tak memasukinya hanya melihat sepintas saja. Banyak anak-anak bermain bebek air mengelilingi danau. Desa yang kami jumpai adalah Desa Pamengkang, dimana bangunan bujur sangkar ini berdiri. Berpagar untuk melindunginya namun tetap rumput tinggi tumbuh dengan suburnya. Sesuai dengan namanya, Pacinan maka kampong ini adalah tempat bermukimnya orang cina saat kejayaan Kesultanan Banten sekitar abad 15. Ini adalah sebuah menara yang tak utuh lagi, dibagian belakangnya ada mihrab yang juga mulai runtuh. 
Di sisi yang lain, terdapat makam yang nisannya cukup besar, namun tertutup oleh hijaunya rumput yang cukup tinggi. Rasa miris bertambah ketika menyaksikan tumpukan sampah yang cukup tinggi di sekitar cagar budaya ini. Entahlah, tak habis mengerti, sebuah tempat yang cukup punya nilai sejarah dibiarkan begitu saja.

3. Vihara Avelokitesvera
Perjalanan dilanjutkan melewati rel kereta api, tak jauh dari sana berdiri dengan megahnya Vihara Avelokitesvera  atau Vihara Tri Darma. Dibangun di abad 16 dan masih sangat terawat, senang melihat tempat ini digunakan sebagai tempat ibadah. Nampak beberapa anak kecil sedang melakukan ibadah bersama orang tuanya. Mengenalkan keberadaan Tuhan sejak kecil itu akan menjadikannya takut untuk berbuat murka.  


Warna merah tentu mendominasi, serta dua buah patung naga, simbol vihara ini berada di pintu masuk. Meski kami beragama lain, kami diizinkan untuk berkeliling vihara, namun tak diizinkan memasuki altar peribadahan. Sangat luas, ada balai pengobatan juga di sisi kiri bangunan. Di bagian belakang ada rumah ibadah pula, digunakan oleh agama Budha. Oya dibagian atas pintu masuk ada tulisan yang mencirikan bahwa vihara ini di jaga oleh Dewi Kwam Im Pho Sat. Letaknya yang tak jauh dari Menara Masjid Pacinan serta masih satu kompleks dengan Masjid Agung Banten, menandakan bahwa keharmonisan beragama terjadi berabad lalu. Damai antara satu dan lainnya. Oya, tak lupa kami menikmati air kelapa muda yang murni dan segar sangat di halaman vihara ini.

4. Benteng Speelwijk





Letaknya persis di seberang vihara, dengan luas 4 hektar. Hamparan rumput menghiasi benteng ini, tak salah jika banyak yang menggembalakan kambing disini.Tanah yang basah membuat anak-anak tak bermain bola meski ada tiang dan gawang yang sudah terpasang disini.  Tersenyum melihat ini semua. Saat kami kebingungan untuk bertanya banyak hal, alhmdh bertemu dengan Bpk. Sambudi penggembala kambing sekaligus penjaga Benteng Speelwijk. Benteng ini terdiri dari dua lantai, tembok yang kokoh terikat dari campuran batu bata, batu karang, serta fosil. Tak ada semen tentunya di jaman itu.  Benteng ini tak memiliki tanda pengenal atau papan informasi. Cukup lama kami berada disini, masuk ke ruang bawah tanah, melihat penjara jaman Belanda. Sinar matahari masuk melalui beberapa celah benteng yang rusak, sehingga udara tak begitu lembab meski kami berada di bagian bawah benteng. Pemandangannya begitu indah, apalagi jika dilihat dari lantai dua benteng. Nyiur  berderet berteman dengan pohon besar lainnya. Menara pengintai masih cukup bagus
kondisinya, namun lagi-lagi manusia berpikir dangkal mencoret dengan pilox, cat dan sebagainya. Benar-benar mengesalkan.

5. Pemakaman Belanda ( Kerkoff )

Rumput tinggi berada diantara makam, Pak Sambudi menemani kami di pemakaman ini. Sambil menyiangi rumput yang tumbuh persis di makam yang paling besar. Tulisan di batu nisannya masih cukup jelas terbaca, Hugo Pieter Faure, wafat 1763. 
Siapakah Tuan Hugo ini? Saya pun mencoba mencari tahu, ternyata Tuan Hugo ini adalah panglima perang pada saat itu. Informasi lain tentang pemakaman ini tidak ada. Papan informasi pun tidak terpasang. Pemakaman ini merupakan cagar budaya yang masih satu kompleks dengan kawasan Banten Lama.

6. Mesjid Agung Banten
Menara Masjid Banten di ambil oleh KaTina
Untuk mencapai mesjid yang dibangun saat jaman kejayaan Sultan Maulana Hasanudin, kami dipaksa untuk berputar-putar melewati jalan yang sempit dan becek. Kami tidak mengetahui ada jalan lain yang cukup besar dan lebih nyaman. Tapi tak apa, kami cukup menikmatinya ketika harus berjalan perlahan dan melewati puluhan pedagang yang menjajakan buah sawo, buah khas di sekitaran Banten selain itu telor asin serta asem keranji. Ada yang pernah menikmati buah ini?, buah dengan warna orange pada bagian dagingnya serta memiliki tekstur seperti bedak. Rasanya asem dan ada rasa manisnya.
Sesampainya disana, saya bergegas untuk tunaikan sholat ashar dan masuk kedalam bagian masjid. Tiang-tiang nan kokoh berdiri tegak menopang masjid ini. Hari itu banyak sekali peziarah yang akan memasuki pemakaman Sultan Maulana Hasanudin dan keluarganya, karena menjelang malam Jum’at, terlebih dalam bulan-bulan istimewa seperti ini. Kehadiran menara setinggi 24 meter di halaman masjid membuat semakin mempesona. Sayang, saya membatalkan untuk naik ke ketinggian menara karena hari mulai sore dan masih panjang antriannya. Masih banyak yang saya harus singgahi. Kaki melangkah ke arah Museum Banten yang letaknya tak jauh dari dari pelataran masjid.

7. Museum Banten

Yaaaaah, ternyata museumnya tutup. Hari libur tidak dibuka. Beberapa pengunjung pun sama kecewanya. Saya hanya dapat melihat sisi luar museum dimana di simpan Meriam Ki Amuk, sebuah meriam yang beratnya mencapai 7 ton, serta peninggalan kaum pecinan berupa nisan- nisan.  Informasi tentang benda bersejarah ini ditulis sederhana saja, tidak dilindungi dengan kaca akrilik atau sejenisnya. Bingkai hitam terbuat dari lakban, hmmmm…….sesuatu yaa. Mencoba mendekati pos informasi namun leaflet dan sejenisnya pun tak ada. Beruntung saya bertemu dengan Bpk. Nahrowi, seorang pemandu senior yang memberikan saran tempat yang dapat kami kunjungi di sekitaran masjid yaitu Keraton Surosowan.

8. Keraton Surosowan
Tiket masuk tanpa bukti sebesar 5000 rupiah menjadi awal untuk memasuki area Keraton Surosowan. Pintu gerbang dibuka. Arah menuju pintu gerbang adalah melewati beberapa penjual serta jalanan yang cukup becek karena hujan pagi tadi. Waaaau, sebuah pemandangan yang cukup indah dapat dinikmati di area cagar budaya ini, meski sebagian besar hanya tinggal tumpukan batu bata saja. Dengan luas kurang lebih 4 hektar keraton ini merupakan tempat tinggal sekaligus kantor pemerintahan Kerajaan Banten berabad yang lampau. Pos penjaga, sumur serta beberapa kolam pemandian masih baik bentuknya, namun kotor. Lumut yang berada di dalam kolam tidak mengurangi keceriaan anak-anak untuk mandi. 
Air yang berasal dari pancuran ternyata adalah air yang dialirkan dari  Danau Tasikardi. Masih mengalir lewat pancuran. Ada tiga pancuran di sini yaitu Pengindelan Abang, Putih dan terakhir Pengindelan Emas.
Arti pengindelan adalah penyaringan. Jadi air yang jatuh ke kolam dan digunakan oleh putrid keraton merupakan air yang sudah cukup bersih. Mengagumkan ya, proses penjernihan airnya. Saya berkeliling dari mulai pos penjaga, naik ke bagian atas dan melihat sekeliling dari sana. Kejayaan masa lampau terlihat dan terasa sekali, tidak heran jika tempat ini banyak pula digunakan untuk bersemedi.  Jika di Benteng Speelwijk banyak coretan di dindingnya maka di sini yang terlihat adalah sampah plastik, mungkin dari pengunjung yang tidak menyadari arti bersih dari sampah. 

9. Watu Gilang
Batu ini terletak persis di dekat pintu masuk keraton. Tempat para pejabat keraton diambil sumpahnya. Miris melihat situs ini, dipagar besi namun tidak terlihat sama sekali jika ini adalah sebuah cagar budaya, karena kiri kanannya penuh dengan penjual dari mulai gorengan, cendol, makanan dan lain-lain. Sejarah yang dilupakan

10. Pengindelan Abang

Situs ini kami jumpai saat perjalanan pulang. Terletak di kiri jalan. Ini adalah bangunan yang dimaksud sebagai penjernihan air. Masih berfungsi dengan baik, mengalirkan air dari Danau Tasikardi ke kolam Ratu Dhenok yang berada di Keraton Surosowan, dengan jarak kurang lebih 2 km. 

Takjub saya dibuatnya. Sebuah pemikiran yang canggih di masa lalu mengenai proses penjernihan air.

Hampir magrib, kami belum mengunjungi Keraton Kaibon, mungkin lain waktu kami akan susuri kembali sekaligus naik ke menara untuk memandang Laut Jawa dari sana. Bergegas keluar dari area kompleks Banten Lama, perut yang lapar sudah meminta haknya untuk diisi kembali, kali ini saya memilih sate bebek dan sopnya yang segar di daerah Cibeber. Warung makan sederhana namun selalu ramai, belum masuk cagar budaya sih heheheh, namun cukup melegenda.  Sate bebek H. Syafei. Sop satu mangkok plus 10 tusuk sate tandas dalam waktu yang tak lama. Menyenangkan hari ini, belajar sejarah dengan cara yang tidak biasa. Banten sebuah kejayaan masa lalu. Ada apa di Banten Lama?? Ternyata banyak cerita.




Selasa, 10 Mei 2016

11 Fakta Tentang Mobiku

Sepanjang hari tadi mengurus Mobiku, dari mulai membersihkannya hingga masuk ke bengkel. Kali
ini perbaiki lampu depan yang mulai suram. Diganti dengan yang lebih  terang agar masa depanku pun tak suram#eaaa.  Oktober nanti usia Mobiku mencapai 10 tahun bersama dengan diriku. Setia? Ya…aku tak pernah berpaling begitu pun dia. Kami menjalaninya baik dalam keadaan suka maupun duka, dalam terik matahari maupun di guyur hujan, dalam gelap maupun terang. Begitulah kami memaknai setiap kedekatan yang luar biasa ini.

Saat menunggu Mobiku di bengkel, saya jadi teringat perjalanan bersamanya. Tersenyum sendiri karena saya ke bengkel ini gegara kejadian minggu lalu saat Mobiku menemani kami berjalan menyusuri Banten Lama dengan suara blep..blep…atau tetiba berhenti tanpa sebab, hahahah. Teman seperjalanan sebut saja Kak Tince dibuat menjadi was-was. Tapi akhirnya semua terkendali, dengan sedikit mantra dia  menjadi lancar dan tidak ngambek. Sepanjang hari melewati tanpa blep..blep lagi. Apa mantranya?...kapan- kapan saya beritahu heheh.

Dia entah berjenis kelamin apa, saya kira dia laki-laki karena dia tak melahirkan biru-biru yang lain. Dan saya tenang jika bersamanya, bukan dengan yang lain. Tapi kadang saya mengira dia wanita, saat dia mulai rewel. Aaah itu mungkin perasanku saja yaa. Dia menjadi penghuni baru di rumah hijau, setelah saya memiliki keberanian untuk memilikinya juga karena sudah saatnya saya belajar untuk lebih mandiri terutama dalam hal transportasi. Ada beberapa fakta yang membuat saya dan dia merasa sangat dekat. Beginilah saya dengannya :D

11. Saya belajar mengendarai motor di Payakumbuh, jauh banget yak. Mesti naik pesawat heehehe. Ketika hendak ke Harau, tempat indah yang terkenal dengan tebingnya, hanya motor yang ada di hadapan kami. Nunggu angkot? Habislah waktu saya. Sewa taksi? Duuuuh mana kebayar dengan kantong saya yang berlobang besar ini. Nekatlah yang membuat saya mengambil kunci dan langsung ngacir dengan motor. Alhmdlh lancar, yaaaa masuk sawah dikit dan hampir nabrak truk saya anggap tidak terlalu penting :D, dan saya gak bilang dengan boncengan saya jika hari itu adalah hari belajar saya hahaha. Itulah kali pertama mencoba mengendarai motor plus boncengan dan trek yang dipilih adalah Harau. Terlalu nekat? Aaah begitulah darah muda hahaha. Saat itu yang ada dibenak saya, sepeda dan motor tak ada bedanya.  Tak lama dari Payakumbuh saya pun memiliki Mobiku

22.  A 3016 menjadi penghubung saya dengan tempat kerja. Tak lagi menunggu bis jemputan. Terlebih saya memiliki jadwal kerja fleksi pada waktu itu, Jadi Mobiku sangat membantu sekali. Pulang telat pun menjadi sasaran karena membawa kendaraan :D. Tak ada alasan syar’i  jika ingin pulang tepat waktu. Begitulah adanya.

33. Teman bertransaksi dan berjualan kesana kemari. Membawa jus sebanyak 40 pack setiap hari Minggu pagi untuk dijual di tempat olahraga, bersama sahabat yang lain. Demi mempunyai dana lebih dan pergi ke pameran buku setiap tahunnya. Senang rasanya mengisi keranjang dengan buku-buku dan membayarnya dengan hasil berjualan jus.  Lalu menjadi alat angkut rujak kala Minggu siang, di aneka kegiatan hingga ke pengajian-pengajian. Angkut sosis Bulaf dan antar kesana kemari. Bawa susu kedelai pesanan teman-teman, antar ke perumahan, dan yang pertama adalah angkut jualan buku dari Klub Buku Indonesia. Ternyata ini sudah lama sekali yaaa. Antar parcel dengan dia ini pun pernah saya lakukan, sebuah usaha yang saya lakukan bertahun silam. 10 tahun memang bukan waktu yang sebentar

 4.Menjadi pengalaman pertama saat harus terpental dan nyaris masuk ke dalam kolong mobil bis gegara saya nekat untuk menyalipnya. Sampai dengan hari ini membuat saya takut untuk menyalip bis atau kendaraan besar lainnya. Trauma yang terus menghantui meski sudah bertahun lewat. Kecerobohan di jalanan saat hujan usai mengguyur. 

55. Jatuh bersamanya ternyata diulangi kembali, kali ini karena ditabrak dari arah depan. Lumayan berdarah-darah. Tapi berkendara tetap harus berlanjut, maka ditepisnya rasa takut. Eng ing eng……jala

 6. Dan akhirnya sempat jatuh lagi dan jatuh lagi, entah apa penyebabnya. Sepertinya saya lelah, memikirkan kamu :D, Jatuh yang hanya sekedarnya hingga yang membuat jantung berhenti sejenak dan pucat pasi.  Dari yang sendiri sampai yang melibatkan teman di boncengan.

 7. Mobiku diajak jalan-jalan menikmati sunset, bersama Mawar. Saat sudah di puncak, motor tiba-tiba tidak bisa di rem, kiri kanan adalah jurang dari bukit yang dituju. Panik sudah pasti, posisi jalanan yang menanjak sudah menurun tajam dan motor tidak bisa dikendalikan. Beruntung Mawar bertubuh mungil sehingga bisa meloncat dengan mudah, sedangkan saya terus memegang stang motor sambil mencari jalan, dan alhmdh saat menukik ada tiang listrik, dhuaaaaarrrrrr…..akhirnya motor saya tabrakan ke tiang listrik yang cukup besar. Saya melompat ke sisi kiri dari motor. Selamat. Kami berdua hanya bengong, dan saya tak habis pikir kenapa motor saya menjadi begitu. Esok pagi, saya tambah terbengong karena ternyata rem motor tidak berfungsi dan masalah lainnya, penjelasan montir di bengkel langganan. Menguras kantong hingga hampir 1 juta gegera perkara rem depan dan belakang. Tapi tetap saya masih bersyukur, tidak terluka hanya lebam sedikit, begitu pula Mawar. Tuhan Maha Baik, dilindunginya kami berdua berkendara di ketinggian tanpa rem. Dan saya tidak mengetahuinya, itu yang membuat perjalanan dengan Mawar tetap tenang hahahah

 8. Tidak pernah berjalan jauh, karena memang larangan. Pernah juga ke Serang, Anyer atau pun Merak tapi diboncengin, dan itu pun banyak wanti-wantinya. Sepertinya caraku berkendara membuat khawatir melepas jarak jauh. Meski sudah berusaha meyakinkan. Meski aku membawanya dengan pelan namun tetap larangan itu berlaku. Yah, anggap saja larangan itu karena rasa sayang mereka terhadap saya

  9.  Eeeeh tapi motor ini menjadi anggota Komunitas Inspirasi :D, dibuat ikut melaut ke Pulau Panjang, menemaniku menyusuri jalan sepanjang pulau. Kerenkan? Menempuh perjalanan menyebrangi lautan lepas hahaha meski untuk jalan darat belum pernah jauh. Terdaftar sebagai salah satu penumpang dalam kapal yang membawa kita berlayar.

110. Ulah saya terhadap dia memang slalu ada. Meletakannya begitu saja di area yang bukan untuknya. Lalu saya tenang berjam-jam melewatkan minggu pagi bersama sahabat, sebut saja namanya Trio Kwek Kwek. Hingga berulang-ulang suara panggilan peringatan tak terdengar. Sadar saat hendak pulang, ada tulisan peringatan di atas motor, dan helm di tahan pihak berwajib. Ooohh……… maafkan, saya membuatmu malu pagi itu.

\11. Dan saya hampir saja melaporkan sahabat setia ini saat tak menemukannya pulang kerja. Tempat memarkir yang biasa ada untuknya kosong. Panik, lelah mencari. Lalu….ahaaaaa, aku ingat, aku parkir di area belakang bukan area depan. Berhujan-hujan saya menemuinya di parkiran belakang. Dia setia menunggu di sana.


Begitulah hubunganku dengan dia. Alhamdlh hari ini dia sudah disemir, bersih dan tak bersuara blep..blep..blep lagi. Entah sampai kapan kami akan saling menyusuri jalanan ini, semoga kita berdua saling sehat yaa. Aku tak pernah bisa membayangkan jika kamu tak ada. Mobiku , Motor Biru Ku.......Sungguh..:)