Selasa, 27 Desember 2016

Belajar Dari Daun Nangka

Deret Daun Nangka ( foto by  Bpk Titi Bachtiar )
Sore tadi menyempatkan diri untuk datang ke rumah salah seorang teman baik yang baru saja kehilangan  ibundanya, dan saya Alhamdulillah diberi kesempatan mengenal beliau. Sosok ibu yang sudah lanjut usia namun jika bercerita terlihat berusaha mengingat-ingat kisah masa lalu, masa kecil anak-anaknya hingga kesukaan lainnya. Saya tidak bisa hadir memberikan penghormatan terakhir kepada beliau karena sesuatu hal, sehingga baru sore tadi berkesempatan untuk hadir dan membuka kembali kenangan beberapa bulan yang lalu saat terakhir bertemunya. Ibu bagi saya merupakan sosok yang selalu mengagumkan. Mendengar kisah bagaimana proses perpisahan jiwa dan raga terjadi di tengah malam itu, teringat dengan alm Ibu, Aaaah sudahlah.., kisah ini tak perlu saya lanjutkan. Ibunda yang tlah lanjut usia ini, sudah cukup bahagia dengan perjalanan hidupnya. Muda yang penuh semangat lalu menua bersama anak menantu serta cucu tercinta dan pergi dengan perasaan bahagia. Insyaallah.

Perjalanan hidup, yaaaa itulah yang aku dapatkan sore ini di minggu terakhir penghujung tahun. Seperti apa hidup ini ingin kita buat, seperti apa kita ingin dikenang, bagaimana orang akan mengingat kita, ingin seperti apa saat kita berpisah dengan kehidupan ini serta berbagai tanya lainnya tetiba melintas kembali saat saya berkendara menuju rumah.

Teringat sebuah gambar deret daun nangka dari berwarna hijau hingga menguning, proses perjalanan sehelai daun. Bisa jadi perjalanan hidup kita seperti itu. Dari usia muda hingga akhirnya menua. Tentulah berproses layaknya daun nangka tersebut. Menguning secara bertahap, dari bagian atas daun hingga akhirnya seluruh bagiannya berubah warna. Lalu membiarkan dirinya jatuh diterpa angin, tak kuasa menolak, tak kuasa menahan dirinya untuk tidak jatuh. Melayang lalu terhempas, namun diterimanya dengan ikhlas, sebuah bentuk penerimaan.  Begitu pula yang seharusnya kita sadari, proses berkehidupan berjalan meski tidak tertutup kemungkinan kita tidak mengalami masa menua/menguning. Saat hijau diruntuhkan pun dapat saja terjadi. Perjanjian untuk kembali tidak ada yang tahu kapan saatnya. Apa yang dapat kita lakukan saat berada di fase “segar”, hijau dan terlihat kokoh? Daun nangka yang muda menyebarkan nutrisi yang dia dapatkan kepada daun yang lain, berbagi kebaikan. Kita? Asik dengan kehidupan sendiri, mempertahankan bagaimana agar eksis di fase itu, tidak peduli sekitar lalu berusaha menolak proses menua.

Tuhan memberi isyarat di setiap proses, namun kita menjadi mahluk yang tidak peka. Kesehatan yang menurun, daya ingat yang tidak setajam dulu, kelelahan fisik yang sering terjadi, dan isyarat lainnya. Sebuah pertanda bahwa ada fase yang akan dimasuki. Persis seperti deret gambar daun nangka. Mengingat itu semua rasanya menjadi takut untuk menghadapi apa yang dinamakan kematian, sebuah fase yang seharusnya tidak perlu kita takuti karena itulah bentuk penerimaan, tidak bisa kita hindari karena itu adalah sebuah kepastian. Tapi lagi-lagi kita dibuat lupa bersiap dengan sesuatu yang pasti.

Motor masih melaju perlahan, rinai hujan menemani, jalanan tidak sepadat kemaren, aroma akhir tahun mulai tercium. Beberapa hari lagi Tahun 2016 akan kita tutup. Ratusan hari yang akan kita tinggalkan akan menjadi sebuah kenangan. Isyarat  nyata dan mudah tentulah ada. Usia akan bertambah, mendekat ke arah perjanjian perpisahan. Bagi saya yang dilahirkan di bulan Maret, pergantian tahun selalu mengingatkan usia akan segera berubah, tidak lama lagi. Entah apa yang akan terjadi di tahun tersebut, akankan impian yang tertulis di kertas putih ini tercapai atau saya diberi kesempatan untuk menulis ulang. Saya pandangi catatan impian yang saya tulis di awal tahun 2016. Beberapa tercapai dengan cara-Nya. Meski berliku akhirnya dapat digapai. Namun banyak pula yang belum,  banyak hal yang semestinya tidak saya lakukan namun lagi-lagi saya memafkan diri atas semuanya. Apa pun yang terjadi tidak ada yang kebetulan, garis Tuhan ada di sana, Lalu pinta yang penting adalah Tuhan Maha Baik memberikan ridho atas semua ini, Tuhan Maha Pengasih selalu memberkahi langkah kaki ini. Banyak hal yang telah terjadi di 360 hari kemaren, dan saya akan menuliskannya nanti.


Penerimaan atas segala hal dan yakini rencana Tuhan akan slalu lebih baik. Berharap sangat akan banyak keajaiban di tahun depan, lebih belajar lagi menata diri agar deret daun nangka ini dapat aku lalui dan nikmati setiap prosesnya hingga saat itu tiba. Berfokus pada hal-hal baik, mencari magnet-magnet kebaikan, melupakan yang tidak perlu diingat.

Rabu, 21 Desember 2016

Kado Dari Bapak Untuk Emak


Setiap tanggal 22 Desember, semua dari kita diingatkan kembali tentang hari Ibu. Postingan di berbagai media, berita di televisi hingga kegiatan yang berfokus pada peringatan hari Ibu. Saya selalu mengingat tanggal ini, selain hari Ibu, tanggal 22 Desember menjadi amat berarti bagi kami sekeluarga.

Tiga puluh tahun lalu, bertepatan dengan hari Ibu, bapak memberikan kado kepada emak.  Kado berupa sebuah status baru yang melekat pada diri saya, kakak dan adik serta emak dimulai di hari itu, kado yang teramat spesial karena kami diberikan kepercayaan untuk melanjutkan hidup tanpa arahan dari bapak. Beliau yakin meski tentu dengan berat hati melepaskan kami, begitu pula yang terjadi pada kami. Ingin menolak namun memang sudah diberi, jadi berusaha menjalani semuanya, berusaha membuat beliau tersenyum hingga hari ini. Berusaha sama-sama mengikhlaskan diri saat itu,  Allah memintanya untuk kembali, maka kami tak bisa menahannya meski air mata tumpah.

Tiga puluh tahun yang lalu, cerita ini ditutup. Tapi semua yang terjadi di hari itu dan ribuan hari sebelumnya masih lekat di benak. Tidak pergi bahkan terus ada, meski lama sekali telah berlalu. Minggu, saat adzan magrib berkumandang, emak memeluk kami semua lima anak yang belum begitu paham dengan hidup yang akan dilalui. Sambil terisak, emak berjanji akan dibesarkannya kami semua dengan tangannya. Kondisi sesulit apa pun tak akan kami dipisahkan. Begitulah memang yang terjadi, hari-hari panjang dilampaui, dari berseragam merah putih, hingga masuk ke jenjang perguruan tinggi. Lalu usai saat kami semua sudah mengenakan seragam kerja. Usai tugas emak, beliau pun pergi sesuai janjinya. Kami lanjutkan perjalanan kembali. Tanpa peta dari kedua orangtua.


Setelah 22 Desember di hari Minggu itu, tak ada lagi kesibukan pagi bercampur suara mesin motor vespa, tidak ada lagi suara berat di sore hari meminta kami untuk mandi. Tidak ada kesibukan memberi sarapan ayam-ayam kesayangan. Tidak ada lagi yang menegur kami karena sandal/sepatu tidak diletakkan pada tempatnya. Tidak ada tawa keras khas, dan tidak ada yang masak pakai bumbu klewek lagi. Semua berubah, tidak ada lagi panggilan “Bapak” di dalam rumah.

Tegas, disiplin itulah Bapak. Tidak ada yang berani membantahnya ketika perintah sudah dikeluarkan, namun dibalik itu semua juga ada saja kelucuan yang dibuatnya. Pernah saat sudah siap berangkat sekolah, dan bapak pun sudah duduk di motor vespanya tetiba bapak minta tolong emak mencari kacamatanya. Semua sigap mencari, namun tak ditemukan. Kamar tidur, tempat baca, hingga ke meja makan. Klakson motor berbunyi, eeeh tapi bukan telolet yaaaa hahaha, artinya jangan lama-lama. Emak tergopoh berlari ke halaman, dan hahahaha…kita semua tertawa kacamata bapak ada di kepala. Bapak lupa hahaha, bapak berhasil membuat kita sibuk semua.

Kami berlima mempunyai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Meski adik belum bersekolah, namun tetap juga punya tugas. Merapikan sandal misalnya. Tidak ada sandal yang posisinya terbalik, semua dipasangkan dan diletakkan pada tempatnya. Kedua adik saya bertugas mengurus itu. Saya mempunyai tugas pegang kemoceng di pagi dan sore hari, mengelap debu jendela, lemari, kursi dan perabot lainnya. Cara bapak mengecek apakah saya mengerjakan tugas adalah membuka taplak meja sedikit dan menyeka bagian bawahnya, jika masih berdebu artinya saya hanya membersihkan bagian yang terlihat. Jadi saat membersihkan saya diajarkan untuk mengangkat asbak, vas bunga, lalu taplak mejanya. Harus dibersihkan walaupun tidak terlihat, pelajaran sederhana namun terus diingat hingga sekarang. Merapikan meja makan, atau menyiapkan peralatan makan semua dikerjakan dengan berbagi. Jika sudah jam makan, emak akan siapkan masakan, saya siapkan piring, kakak akan siapkan teko air, semua bergerak sesuai tugasnya. Dengan tubuh kecil bukan berarti tidak punya peran. Belajar itu yang sering dikatakannya.

Bapak memelihara ayam, kandangnya rapi. Terbuat dari bambu. Membersihkan kandang ayam tugas kakak laki-laki, meski letaknya di samping rumah, namun tetap tidak boleh bau. Kotoran ayam dibersihkan tiap hari, disemprot dengan slang air sambil ayamnya ikut mandi heheh.  Memberi makan ayam menjadi kesenangan bapak. Kesibukan pagi adalah selain menyiapkan sarapan untuk kami, bapak juga sibuk menyiapkan sarapan untuk ayam. Dedak dicampur air panas dan nasi panas. Hohohoho…………, dikepal-kepal, lalu ayamnya digendong sambil diajak ngomong, ayamnya sehat, makanannya penuh gizi. Kakak lelaki saya ketika sore harus memastikan ayam-ayam masuk kandang, tidak ada yang berkeliaran diluar. Pernah di suatu sore, satu ayam tidak mau masuk kandang, bertengger di pohon belakang rumah, sudah dicoba untuk ditangkap lhaaa kok malah kabur. Hingga sore berganti malam, kakak masih sibuk merayu ayam untuk turun. Saya pun waktu itu ikut bantu merayu ayam agar pulang ke kandang hahaha. Ayam-ayam ini jika sudah waktunya akan menjadi santapan keluarga di meja makan, kadang jadi gak tega kalau ingat tubuh gemuknya yang kita pelihara dari kecil.

Kakak yang paling besar akan sibuk menyiram pohon di sore hari, rumah kami penuh dengan aneka tanaman saat itu. Jeruk Bali, cengkeh, nangka, ceremai, belimbing wuluh, belimbing bintang, jambu air, mangga, hingga pisang ada di halaman rumah. Tidak banyak, setiap jenis ada satu pohon. Belum lagi tanaman hias milik emak seperti Kuping Gajah, duuuuh mesti tetap hijau dan segar. Tanahnya harus digemburkan, jadi akarnya sehat. Begitulah urusan tanaman, emak yang akan banyak bicara. Untuk menyikat kamar mandi pun dibuatkan jadwal. Semua bekerja, belajar bertanggung jawab. Hari Minggu kami akan sibuk mencuci sepatu. Kaos kaki dan sepatu menjadi tanggung jawab masing-masing. Kami akan ngantri di tempat cuci belakang rumah, bergantian nunggu sikat sepatu, kadang saya merayu kakak menitipkan sepatu  hehehe. Seru sekali jika kami sedang mengingat masa kecil.

Apa yang tidak disukai bapak? Bapak sangat marah jika kami berbohong, kakak saya sehabis pulang sekolah rupanya berenang di sungai dengan kawannya. Kulitnya hitam terbakar matahari, lalu pulang sore hari. Eeeh saat ditanya tidak mau bilang habis berenang, hohoho, Bapak marah, menurut bapak jika sudah berbohong nanti pasti akan terbiasa berbohong. Jujur saja, mengaku salah. Itu lebih baik dan aman. Ada pesan juga dari bapak, jika mengaku salah tunjukkan wajahmu merasa salah, jangan cengar-cengir, senyum dan sebagainya. Pesan seperti ini terus saja teringat, karena saya pernah melakukannya, mengaku salah tapi wajah saya tidak menunjukkan itu. Bapak juga tidak suka kita bermalas-malasan, bangun harus pagi, tidur tepat waktu dan jika luang yang dilakukan adalah membaca buku/koran, serta mengisi Teka Teki Silang di harian Kompas Minggu waktu itu. Televisi dinyalakan saat tertentu saja, tidak semua acaranya boleh ditonton.

Dan menurut bapak, kita harus bersyukur jika masih ada yang mau menegur, memarahi atau menasihati kita, karena jika sudah didiamkan, dicuekin, dianggap tak ada padahal ada, itu akan menyakitkan sekali. Nasehat lama ini benar adanya. Saya meyakininya sekarang.

Lalu dimanakah emak saat itu? Emak paling sibuk di dapur, ada saja makanan yang dibuatnya. Di tangannya semua jadi enak. Kami tidak mengenal jajan, setiap ingin jajan emak bisa membuatnya, jadi yaaa sudah….kami tak perlu jajan. Dari siomay, bakso, roti sobek, bubur kacang, putu ayu hingga kue lainnya slalu bisa dibuat. Bapak mengharuskan kami bisa berenang, main bulu tangkis, serta lari. Sayangnya saya masih kecil, jadi jika Bapak bermain bulutangkis di lapangan sebelah rumah, saya hanya bertugas mengambilkan shuttlecock, dan menonton saja. Dua kakak saya menjadi lawan mainnya. Raket hanya untuk kakak, sedangkan saya bermain-main melempar cock dengan piring plastik. Tubuh bapak saya yang gemuk tidak membuatnya sulit bergerak, tetap lincah mengajarkan smash, atau pun mengembalikan shuttlecock. Makanan lah yang membuatnya menjadi sakit, penggemar jeroan dan tentu wedang legi plus kentel. Gula batu menjadi teman di pagi dan sore hari. Meski dokter sudah melarangnya namun berat meninggalkan kebiasaan, hingga akhirnya menyerah meski usia baru berkepala empat.

Bapak selain mengajarkan tentang disiplin juga mulai mendidik kami menghargai uang. Bagaimana cara kami mendapatkan sesuatu?...ya menabung. Celengan ada di atas meja belajar kami, jika ada keinginan harus dibuka, nanti bapak akan cukupkan jumlahnya. Oh yaa, bapak saya jago masak juga. Untuk beberapa masakan, emak akan kalah. Terutama masakan Jawa tentunya heheh. Rawon dengan bumbu keluwek menjadi masakan kesukaannya. Aneka soto, bahkan bubur ayam, nasi tim pun itu dibuat di dapur emak. Tempe hadir setiap hari di meja makan. Lalu bapak mencoba membuat tempe sendiri dan hasilnya luar biasa. Produksi tempenya diminati oleh tetangga dan teman-temannya. Rak besi tinggi ada dibelakang rumah tempat bapak dan emak membuat tempe. Nah, membuat tempe biasanya dilakukan saat hari Minggu, semaleman rendam kedelai dan cuci hingga bersih. Lalu emak yang akan memasukkan dalam plastik, saya akan menusuk-nusuk plastik dengan lidi yang sudah diruncingkan, agar proses fermentasi berjalan sempurna. Ternyata ada polanya juga, tidak asal tusuk sana sini. Tapiiiii…..yaaa begitulah saya, masih saja tidak berpola, berantakan terlihat saat tempenya sudah jadi. Mengantar tempe yang sudah jadi ke tetangga juga sebagian dari tugas saya, pernah saat hendak mengantar, bawa tempenya menggunakan piring, eeeh ada Soang, angsa yang lehernya panjang mengejar saya hingga jatuh dan tempenya berantakan, piringnya juga entah kemana. Rasanya seperti dikejar apa yaaa….lari sekuat tenaga tapi ternyata paruhnya berhasil menangkap ujung baju. Ngeriiiii membayangkan Soang waktu itu. Hahahah. Masa lalu dengan soang berleher panjang.

Rak tinggi untuk menyimpan tempe beralih fungsi setelah bapak pergi, baskom besar dan lain-lain dibiarkan berdebu. Tak ada yang menyentuhnya, emak sempat sakit dan bingung harus mengerjakan apa, alhamdullilah akhirnya semangat itu hadir kembali. Hidup harus terus berjalan. Tidak boleh menyerah dan berhenti begitu saja.  

Lalu, setelah waktu berjalan begitu panjang, setiap hari Ibu di 22 Desember pastilah emak akan bilang, kado dari bapak abadi sepanjang masa. Slalu diingat, perayaan bagi emak, tapi juga kami akan berkirim doa mengingat bapak. Hari ini tepat 30 tahun. Sarung kotak hijau dan kaos putih yang sering dikenakan bapak, kadang melintas menjadi kerinduan. Rindu serindu-rindunya, hingga kadang jatuh bulir bening tanpa sebab. Beliau menginginkan kami anak-anaknya menjadi anak yang tangguh, tidak cengeng dan tidak rapuh, pembelajaran yang saya dapat dalam perjalanan 30 tahun tanpanya. Rasanya menjadi aneh jika saya terisak untuk hal yang tidak penting, karena banyak hal penting sudah berhasil dilalui tanpa  terisak.

"Terimakasih kado istimewanya Pak", jangan khawatir anak gadismu yang satu ini terus semangat dan semangat terus. Seperti yang slalu diajarkan untuk berikan yang terbaik, belajar dalam segala hal, berani, dan strooooong. Meski kadang jika sedang sedih gegara ada yang bikin ulah saya tak bisa lapor bapak, seandainya bapak ada………….hmmmm tinggal ditelolet kelar deh hidupnya dia, berani-beraninya yang bikin anak gadis bapak menangis. Eeeh, sudah, sudahlah…..bapak tidak perlu tahu hal ini. Tenanglah di sana bersama emak.

Al- fatihah untuk bapak dan emak dari kami di ruang yang berbeda. Insyaallah kita akan bertemu di Jannah-Nya. Saya percaya, bapak dan emak slalu temani di rumah hijau ini. 

**foto Cik Wening