Rabu, 31 Mei 2017

Kriuk...Kriuk...Ku suka

Kamu suka ngemil kerupuk? Jika ya…mari duduk bareng di sini. Kita bercerita tentang kerupuk yuk. Mahluk renyah, gurih dan slalu rame saat kita gigit. Mungkin karena hidupku yang berusaha slalu ku buat renyah. Akhirnya kerupuk menjadi teman keseharian yang cocok, dan setia menemani. Sebuah filosofi kerupuk yang nggak banget ya. Kriuk-kriuk seperti hidupku.

Apa sih kerupuk itu? Jika kita intip dari kamus bahasa, kerupuk adalah makanan yang dibuat dari adonan tepung dicampur dengan lumatan udang atau ikan, setelah dikukus, disayat-sayat tipis atau dibentuk dengan alat cetak lalu dijemur agar mudah digoreng. Tapi bagiku kerupuk ya mahluk renyah, setingkat di atas keripik namun di bawah kerupak. Nah looo, apaan tuh?

Keripik itu makanan renyah, ukurannya kecil. Misalnya keripik kentang, keripik bawang, keripik tempe dan lainnya. Kerupuk ukurannya lebih besar sedikit dari keripik. Kerupuk udang, kerupuk ikan, kerupuk jengkol misalnya. Dan kerupak itu adalah kerupuk yang gedeeee ukurannya, jumbo segede wajan gitu deh. Eh.., ini definisi bebas yaa. Seperti halnya rengginang dan renggining J, tidak ada di kamus resmi, adanya di kamus Tati heheh.

Kerupuk hadir di toples baik di rumah maupun apotek. Dijadikan cemilan. Anehnya meski saya suka plus doyan kerupuk, saya tidak mau menggabungkan kerupuk dengan menu makan. Kerupuk adalah cemilan, bukan teman makan. Saya akan menggigitnya setelah makan selesai. Ribet jika harus dimakan dalam satu waktu.

Nah, di bulan puasa  ada satu kerupuk yang mendunia di Cilegon. Kerupuk yang ngetop sejak saya kecil. Harganya seratus rupiah perbuah, saat itu. Kerupuk mie namanya. Disebut demikian karena warnanya kuning dan bentuknya seperti mie. Dijajakan banyak di pinggir jalan saat bulan puasa seperti ini. Bisa dijodohkan dengan asinan, soto, atau sejenisnya. Namun cara menikmati kerupuk ini yang paling asik adalah menyiramnya dengan sambel bumbu kacang.

Oh iya, kerupuk mie ini tidak ada campuran ikannya. Agak sedikit keras, kenyal di bagian yan tebal tapi ini yang bikin tidak bisa berhenti dan bagian yang saya suka. Kamu suka juga kan?

Tadi sore saya melakukan ritual merendam kerupuk mie, persis saat puluhan tahun yang lalu. Beli kerupuk mie di tetangga yang secara turun temurun menjual kerupuk mie. Dengan harga dua ribu rupiah perbuah. Sambel bumbu kacang tentu disertakan sebagai pelengkapnya. Tempat berjualannya masih sama, seperti puluhan tahun yang lalu. Di meja kayu, samping mushola yang tak jauh dari rumah.

Ritualnya pun masih sama, namun kakak dan adik tidak ikut meramaikan secara nyata berebut tempat dan berebut kerupuk seperti waktu puluhan tahun yang tlah lewat. Sore tadi  saya menikmatinya di sebuah ruang yang kanan kirinya berisi rak obat, diapers serta pajangan lainnya. Meski begitu kerupuk mie ini tetap renyah dan ruangan pun tidak sepi karena saat adzan berkumandang, kakak dan adik ramai memberikan ucapan selamat di wa. Selamat berbuka, bulek!