Kamis, 21 Juli 2016

Bercerita di Rumah Keabadian

Matahari masih terasa panasnya meski waktu sudah menunjukkan sore hari.  Mobiku siap melaju, temani aku berkunjung  ke rumah kedua orangtuaku.  Sebuah komplek khusus tak jauh dari tempat tinggalku.  Perlahan ku buka pintu pagarnya. Sepi. Ku ucapkan salam, dan aku langsung masuk ke bagian dalam. Nampak rumah kedua orang tuaku.  Terakhir  mengunjunginya  kira-kira empat bulan yang lalu. Halamannya bersih, pohon besar nan rindang  ikut memayungi kompleks ini.

Ku ucapkan salam sekali lagi, dan mereka ada di sana. Bapak dengan kain sarung kotak hijau dan berkaos putih, nampak santai duduk di kursi merah ditemani  Emak yang  dengan senyumnya seakan menyambut kedatanganku  di sore ini. Daster berlengan pendek dengan motif berwarna ungu sepertinya memang menjadi daster favorit. Entahlah, setiap aku datang, pakaian itu yang dikenakannya.  Aku duduk di hadapannya, lalu berceritalah tentang  empat bulan yang telah lewat dan tentunya tentang kami semua, anak dan cucunya. Sore ini aku datang sendiri, karena kakak dan adik belum datang, kalimat itu yang menjadi awal cerita. Tapi insyaallah di 1 Syawal semua akan kesini, berita yang sangat membahagiakan tentunya dan itu terwujud. Dari lima bersaudara memang hanya dua yang tinggal di kota ini. Jadi kami jarang berkunjung bersama-sama.

Aku lanjutkan cerita tentang kegiatanku yang banyak habiskan waktu di apotek, hingga kadang membuat rumah menjadi tidak rapi. Rumput yang kadang tinggi, tak sempat untuk memotongnya. Entahlah sepertinya aku belum menemukan ritme waktu yang tepat dengan aktivitas yang baru aku jalani beberapa bulan ini. Emak selama puluhan tahun adalah manager waktu untuk aku, alarm yang paling ampuh. Tidak hanya itu, untuk urusan warna pakaian hingga kerudung pun aku tak pandai tentukan pilihan, dan Emaklah yang  akan putuskan warna apa yang aku harus kenakan. Semoga warna baju dan kerudung yang senada sore ini membuat  Emak percaya bahwa putrinya sudah mulai bisa tentukan pilihan.

Cerita berlanjut tentang bunga Kamboja yang kemarin sempat mekar, merah warnanya. Terbayang kala pertama bunga itu mekar, Emak memanggil berulang-ulang namaku agar melihatnya di halaman dan aku masih tetap selonjoran di tempat tidur. Maafkan Mak. Sekarang bunga itu mekar dan aku mengakui bahwa melihatnya mekar itu memang indah. Sayang ….bunga kesayangannya yang lain yaitu Kuping Gajah dengan  puluhan pot tak bersisa satu pun saat ini. Aku tak dapat menjaganya. Memang rumah kami tetap hijau namun sudah tak sehijau dahulu. Tembok-tembok yang cukup tinggi mengelilingi rumah membuatnya tak sesejuk dulu.  Sunngguh berbeda masa itu dengan yang sekarang.

Bergeser  tempat duduk, aku tetap bercerita bahwa semuanya baik-baik saja. Cucu-cucu yang berjumlah 7 orang tak lupa aku ceritakan. Sudah besar, ada yang hobi menyanyi, pandai berpidato dan ada juga yang  sudah pandai berenang. Namun dari semuanya tak ada satu pun yang tidak suka makan. Semuanya suka sekali makan dan ngemil. Tentu jika kondisinya bukan seperti sekarang, pastilah aneka masakan dan kudapan penuh di meja makan. Dan semua akan bisa bercerita tentang lezatnya masakan nenek. Seperti aku menceritakan kepada mereka tentang kehebatan Nenek membuat masakan. Tak pernah jajan di warung karena apapun yang kami inginkan berusaha diwujudkan. Dari siomay, bakso hingga roti goreng pun dibuatnya.
Cerita hampir selesai, aku memandang keduanya. Masih seperti dulu. Matahari mulai turun, teriknya hilang. Ada beberapa orang yang membuka pintu pagar rumah keabadian ini. Rupanya banyak yang mengunjungi komplek ini, karena lusa, Ramadhan akan datang.  Sama seperti aku. Meski tidak hanya di waktu seperti ini saja. Terkadang saat aku merasa rindu, aku membuka pintu pagar kompleks ini, sekedar untuk duduk dan bercerita.

Aku perbaiki dudukku lagi, ceritaku selesai. Cerita yang bukan berwujud percakapan biasa. Aku menyampaikannya dalam bentuk yang lain. Sebelum pamit, ku berikan hadiah dalam lantunan kalimat suci untuk mereka berdua dengan harapan rumah tinggal keabadian ini menjadi terang penuh cahaya, menjadi luas dan penuh dengan bunga. Seperti kesukaan Emak yang slalu senang dengan bunga warna-warni. Seperti kesukaan Bapak, rumah yang penuh pohon-pohon hijau dan berudara sejuk. Sore ini tepat 9 tahun Emak tinggal di sini, menemani  Bapak yang telah lama berdiam hampir 30 tahun di sini.  Sehidup Sesurga doa kami untuknya. Perlahan aku bangkit, dan pamit karena sudah hampir Magrib. Tinggalkan mereka berdua, duduk di kursi merah itu. Memberikan senyum kepada beberapa orang yang baru saja memasuki  kompleks ini, lalu ku tutup pintu pagarnya. Hidupkan mobiku, motor biruku. Melaju perlahan menuju rumah di mana dulu mereka besarkan kami semua dengan segala hiruk pikuknya masa anak-anak.


Suatu hari nanti kami akan berkumpul kembali  bersama di rumah keabadian.